Alinaone.org – Di kompleks perumahan yang adem, di pinggiran Jakarta yang sedikit ngambek tiap kali hujan deras datang, ada satu rumah paling mencolok—bukan karena arsitekturnya, tapi karena penghuninya.
Namanya Pak Damar. Umurnya 47 tahun, kerjaannya… ya, katanya sih “freelancer”. Tapi dari yang gue liat, aktivitas utamanya tiap hari adalah mengenakan jubah biru tua, celana ketat merah menyala, dan helm sepeda yang dicat emas. Iya, helm sepeda, bro.
Tolong, Tetangga Gue Ngerasa Dia Superhero (Aliana Novel)

“Gue ini penjaga keadilan di wilayah RT 05 RW 09,” katanya suatu pagi pas gue lagi nyapu halaman.
Baca Juga : Memori Mesin yang Pernah Bermimpi (Aliana Novel)
“Pagi, Mas Wahyu. Tadi malam gue baru gagalin pencurian motor di Blok E. Gue kejar dia sampe kebon pisang. Sayangnya, dia hilang dalam gelap,” katanya sambil menarik napas kayak habis lari maraton. Padahal nafasnya kedengaran lebih karena asma.
Gue cuman senyum, angguk-angguk sok hormat. Dalam hati, “Yah, semoga malingnya beneran ada dan bukan kucing belang lo kejar-kejar, Pak.”
Aroma Kopi dan Kebohongan
Setiap sore, Pak Damar bakal nongkrong di warung Bu Rina, deket pos satpam. Duduknya nyamping, tangannya nyangga dagu, sambil mata ngamatin jalanan.
Kalo ada bocah naik sepeda ngebut, langsung dia teriak, “KEADILAN ITU PELAN-PELAN, NAK!”
Bocahnya? Kabur sambil ngakak.
Warga lain? Udah kebal. Tapi gue? Lama-lama penasaran juga.
Gue mulai nyatet semua aksi heroiknya. Mulai dari “mengamankan” plastik hitam mencurigakan (yang ternyata isi nasi bungkus), sampai “membuntuti” pria bermobil plat B yang katanya mata-mata dari luar komplek (ternyata supir ojek online yang salah alamat).
Awal Mula Kekacauan
Sampai akhirnya, suatu malam, kejadian yang bikin bulu kuduk berdiri beneran terjadi.
Gue lagi ngedit video buat konten YouTube gue. Tiba-tiba, BRAK! Suara keras dari luar rumah. Disusul suara teriakan panik.
Gue lari keluar, tetangga berhamburan. Di depan rumah Bu Yati, ada bayangan cowok pakai hoodie hitam, lari ke arah belakang gang. Dan siapa yang pertama ngejar?
Yap. Si manusia jubah itu.
“MENYERAHLAH, PENJAHAT!!!”
Tangannya nunjuk dramatis, kayak adegan film tahun ’90-an. Jubahnya berkibar, helmnya miring. Tapi langkahnya cepet juga. Gue ngikut, bareng warga lain.
Di belakang gang, kami semua nyaksiin pemandangan absurd. Si penjahat yang ternyata maling tas, jatuh kepeleset dan kakinya keseleo. Di atasnya berdiri Pak Damar, ngos-ngosan, tapi matanya… tajem. Serius. Ada api di sana.
“Saya… penjaga wilayah ini,” katanya dengan nada berat. “Gak ada kejahatan yang bisa lolos dari saya.”
Malam Yang Mengubah Segalanya
Setelah malam itu, semua berubah.
Media lokal nulis tentang “Pahlawan Jubah dari Cengkareng.” Foto Pak Damar yang berdiri dengan kaki sedikit membuka, tangan di pinggang, jadi viral. Warga mulai manggil dia “Captain RW”.
Tapi, kayak semua dongeng, gak semua bisa bahagia selamanya.
Dia mulai keterusan. Setiap orang asing yang lewat, dia curigai. Setiap kucing berantem, dia mediasi. Bahkan pernah dia tahan kurir ekspedisi karena “terlalu buru-buru mengantar paket, bisa bahaya buat lalu lintas emosi warga”.
Baca Juga : Ketika Rindu Berbicara dalam Diam (Aliana Novel)
Pak RT mulai resah. Bu Yati mulai sebel. Dan gue? Di tengah semua ini, mulai mikir: “Apa dia beneran gila… atau dia tau sesuatu yang gak kita tau?”
Surat yang Tak Pernah Dibuka
Suatu malam, setelah hujan reda, gue dapet surat. Bukan lewat pos. Lewat jendela kamar gue. Surat tangan, lipatan agak basah, kertas beraroma wangi kapur barus.
Wahyu,
Kalau lu baca ini, mungkin gue udah gak bisa lagi jaga lingkungan ini. Tapi gue mau lu tau satu hal—dunia ini punya lapisan yang gak bisa semua orang lihat. Gue bisa. Dulu, gue pernah gagal. Tapi sekarang… gue gak akan tinggal diam lagi.
Jangan percaya semua yang lu lihat.
Tanda hitam di langit? Itu bukan awan.
Salam,
D.
Gue ngerasa kayak tokoh utama film misteri. Tapi… gak ada yang aneh di langit. Gak ada tanda hitam. Gak ada apa pun… kecuali, malam itu bintang-bintang ngilang. Total.
Pertemuan di Atas Menara Air
Gue gak bisa tidur. Jam 2 pagi gue keluar rumah. Langit masih gelap banget. Gue jalan ke menara air di ujung kompleks. Entah kenapa, kaki gue bawa ke sana.
Dan di sanalah dia—berdiri, jubahnya berkibar, kayak penjaga malam.
“Gue tau lu bakal dateng,” katanya, tanpa nengok.
“Lu siapa sebenernya, Pak Damar?”
Dia diam lama. Lalu berbalik.
“Ada dunia di balik dunia ini. Ada kekuatan yang bangun dari tidur panjang. Dan kalau gak ada yang jaga… kita semua lenyap.”
Gue pengen ketawa, tapi… ada suara aneh dari kejauhan. Kayak dengungan… atau bisikan? Menara itu bergetar halus.
“Lu percaya sama hal-hal yang gak bisa dijelasin?”
Gue menelan ludah.
Mungkin… iya.
Epik yang Tak Pernah Tercatat
Besoknya, Pak Damar hilang. Rumahnya kosong. Jubahnya tergantung di pagar. Dan di bawahnya, secarik kertas:
“Penjaga akan kembali saat bayangan tak lagi bisa ditebak dari arah cahaya.”
Warga bilang dia pindah ke panti. Ada yang bilang dia kabur karena tekanan sosial. Tapi gue? Gue gak yakin.
Kadang, tengah malam, gue masih denger suara bisikan halus dari arah menara air. Dan tiap kali angin bertiup dari utara, gue bisa ngerasa ada seseorang di atap rumah gue, menjaga.
Pahlawan gak selalu punya kekuatan super. Kadang mereka cuma punya keyakinan gila, kostum aneh, dan hati yang gak pernah menyerah. Pak Damar mungkin dianggap gila sama dunia, tapi buat gue?
Dia pahlawan.
Dan gue bakal terus catat kisahnya.
Siapa tahu… suatu hari dia butuh partner.