Surat yang Ditulis dengan Tinta Air Mata (Alina Novel)

Alinaone.org – Langit pagi itu tidak biru. Warnanya seperti kertas surat yang sudah terlalu lama terlipat dalam laci — pudar, suram, dan penuh rahasia yang menempel di sela-sela debu. Angin menyelinap pelan lewat celah jendela yang lupa ditutup semalam, mengibaskan tirai tipis seperti sepasang tangan yang tak sabar ingin membelai kenangan.

Surat yang Ditulis dengan Tinta Air Mata

Di meja kayu tua, yang salah satu kakinya ditopang buku puisi yang sampulnya sudah usang, duduklah seorang perempuan. Namanya Naira. Usianya? Entahlah. Ada kerutan di sudut matanya, tapi senyumnya masih muda. Ia duduk membungkuk, memegang pena seolah pena itu nyawa terakhir yang belum sempat ia bisikkan rahasianya.

Baca Juga : Di Antara Dinding yang Menguping Rahasia Kita (Alina Novel)

Kertas di hadapannya kosong. Putih. Terlalu putih. Seputih kenangan yang belum pernah diucapkan, seputih janji yang tak pernah ditepati.

Lama ia diam. Lalu perlahan, tangannya mulai menari. Tapi tinta di dalam pena tak mau keluar. Ia goreskan lagi, masih nihil. Ia ketuk ujungnya ke meja, sesekali menggoyangkannya. Tapi tinta tetap enggan. Mungkin pena itu tahu, kata-kata yang akan ditulis bukanlah sekadar huruf, melainkan luka.

Jadi ia menangis.

Tangis yang bukan keras. Bukan pula isak. Tangis yang nyaris seperti hujan yang malu-malu jatuh ke genting — terdengar samar tapi pasti. Setetes air jatuh di kertas. Menggenang sebentar, lalu menyerap, meninggalkan noda yang pelan-pelan berbentuk hati. Bukan hati yang sempurna, tapi hati yang retak di ujungnya.

Dan seolah itulah isyaratnya, pena itu mulai bekerja.

Untuk kamu yang pernah aku panggil takdir…

Tangannya gemetar saat menulis. Setiap huruf terasa seperti jalan pulang yang terlalu asing, terlalu sunyi. Kata demi kata mengalir, bukan dari pikirannya, tapi dari luka yang belum pernah benar-benar sembuh.

Hari ini, aku menulis bukan karena ingin diingat. Aku menulis karena lelah menyimpan. Aku ingin kata-kata ini menjadi jembatan, atau kuburan. Entahlah. Terserah saja.

Di luar, angin mulai membawa bau tanah basah. Seperti ada hujan yang tak jadi datang, atau mungkin sudah turun di tempat lain. Di tempat di mana kenangan bersembunyi seperti anak-anak yang bermain petak umpet dengan waktu.

Masih ingat hari itu? Saat kau bilang, ‘aku akan kembali’? Aku menunggu. Dan menunggu. Sampai hari-hari berubah jadi musim. Sampai musim berubah jadi tahun. Tapi kau tak pernah kembali.

Ia berhenti menulis. Air matanya menetes lagi. Kali ini dua tetes sekaligus, jatuh berdampingan seperti dua insan yang dulu pernah berjalan bersama. Kertasnya mulai lembab. Tapi ia tak peduli.

Tiba-tiba bayangan seseorang muncul di sisi kanan ruangan. Samar. Seperti bayang-bayang lampu jalan yang lelah. Tapi tak bisa disangkal — itu dia. Lelaki yang dulu ia cintai. Lelaki yang sekarang hanya hidup dalam surat.

“Kenapa baru sekarang?” bisik Naira, suaranya hampir tak terdengar.

Bayangan itu diam. Tak menjawab. Tapi matanya… matanya menatap penuh penyesalan. Seolah kata “maaf” sudah terlalu usang untuk diucapkan.

Aku tahu, kamu tidak bisa membalas surat ini. Kamu bahkan mungkin tak akan pernah membacanya. Tapi setiap huruf di sini, kutulis dengan air mataku sendiri. Bukan tinta. Bukan darah. Tapi air mata yang keluar dari tempat paling dalam di hatiku.

Ada sesuatu yang magis dalam surat itu. Setiap kata yang ditulis, mengeluarkan aroma masa lalu. Aroma kopi yang dulu mereka minum bersama, aroma buku tua di toko kecil yang sering mereka datangi, aroma hujan pertama saat ia menggenggam tangannya untuk pertama kali.

Aku masih ingat caramu tertawa. Suaramu seperti senar gitar yang dipetik dengan pelan. Tapi sekarang, suaramu hanya gema. Dan aku hanya bisa mendengarnya saat malam terlalu sepi.

Seketika, lampu di meja berkedip. Angin bertiup lebih kencang. Kertas-kertas lain bertebaran. Tapi surat itu tetap diam di tempatnya. Seolah dunia bisa runtuh, dan surat itu masih akan tetap ada.

Ia menulis lagi.

Kalau aku bisa memutar waktu, aku tidak akan mengubah apa pun. Aku akan tetap mencintaimu. Bahkan jika akhirnya tetap seperti ini. Bahkan jika aku tahu kau akan pergi.

Air matanya tak lagi pelan. Kini seperti hujan deras. Tapi bukan hujan yang menyakitkan. Lebih seperti hujan yang akhirnya turun setelah sekian lama langit menahan beban. Ia menulis lebih cepat, seakan waktu akan kehabisan sabar.

Baca Juga : Rumah yang Hanya Bisa Dilihat Saat Kau Sedih (Alina Novel)

Dulu aku pikir mencintaimu adalah keindahan. Sekarang aku tahu, mencintaimu adalah kehilangan yang tak pernah selesai.

Bayangan lelaki itu makin jelas. Wajahnya tampak lebih utuh. Ia mengenakan kemeja yang sama seperti terakhir kali mereka bertemu — putih dengan noda kecil di kerahnya. Ia menatap Naira dengan sorot mata yang ingin mengatakan banyak hal tapi tak tahu harus mulai dari mana.

Kalau suatu hari kamu membaca ini, mungkin di kehidupan berikutnya, tolong jangan lupakan aku. Jangan buat aku menunggu lagi. Kalau memang harus pergi, bawa aku serta. Atau setidaknya, tinggalkan aku dengan alasan yang bisa kupahami.

Lembar terakhir.

Naira mengambil napas dalam-dalam. Tubuhnya seperti melemah. Tapi matanya menyala. Ada nyala kecil, seperti lilin terakhir di tengah malam badai. Ia tahu ini akhir dari segalanya. Atau awal dari sesuatu yang belum punya nama.

Aku meletakkan surat ini di tempat kita biasa duduk. Di bawah pohon flamboyan yang sekarang sudah tua. Mungkin ia juga merindukan kita. Kalau kau datang lagi ke sana, bacalah dengan perlahan. Tapi jangan menangis. Biarlah hanya aku yang menulis dengan tinta air mata.

Tangannya berhenti.

Pena itu jatuh ke lantai, tanpa suara. Naira menunduk, lalu memeluk surat itu. Matanya terpejam, bibirnya tersenyum kecil. Di luar, hujan mulai turun. Kali ini benar-benar turun. Dan suara rintiknya seperti bisikan, seperti nyanyian lama yang akhirnya menemukan nada terakhir.

Bayangan lelaki itu melangkah pelan. Mendekat. Lalu duduk di sebelah Naira. Ia tidak menyentuhnya. Tidak bicara. Tapi hadapannya menghadap ke surat itu. Ia membaca, satu baris demi satu baris, dengan mata yang mulai berkabut.

Saat huruf terakhir terbaca, ia menatap Naira. Tapi perempuan itu sudah tertidur. Tenang. Damai.

Bersama surat yang ditulis dengan tinta air mata.

url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url