Alinaone.org – Ada yang aneh dari malam ini. Bukan karena bintang-bintang sedang mogok kerja, atau bulan sedang malas menyinari bumi. Tapi karena hati terasa kosong, padahal playlist “Mood Booster” masih setia diputar. Lagu demi lagu meluncur lembut, mengalir di antara kesunyian kamar, tapi… kenapa sepi masih betah tinggal?
Pertarungan ini bukan antara dua musuh bebuyutan. Bukan juga soal menang atau kalah dalam arti harfiah. Ini tentang bagaimana teknologi dalam hal ini, Spotify berusaha menjadi pelarian dari rasa yang paling tua di dunia: sepi.
Spotify vs Rasa Sepi Siapa yang Menang?

Spotify bukan cuma aplikasi pemutar musik. Ia seperti teman yang tahu kapan kamu butuh lagu galau, kapan harus goyang dikit di tengah stres kerja, atau kapan kamu ingin melamun ditemani dentingan piano dan suara serak penuh luka. Ia mempelajari kebiasaanmu, mencatat lagu-lagu yang kamu ulang lebih dari tiga kali, bahkan berani menyarankan “Discover Weekly” seolah tahu isi hati yang belum kamu akui.
Baca Juga : Dari Hujan sampai Mantan Spotify Punya Playlistnya
Banyak yang percaya begitu. Nada-nada, irama, dan lirik bisa jadi katarsis. Lagu dari Hivi! yang manis bisa jadi plester di hati yang retak. Atau mungkin kamu lebih suka Radiohead, biar tenggelam sekalian dalam kabut eksistensial. Spotify memfasilitasi semua. Tanpa banyak tanya. Tanpa menghakimi. Cukup tekan play, dan biarkan dunia luar mengecil.
Namun, sepi itu bukan sekadar diam. Ia punya bentuk. Kadang menyerupai mantan yang tiba-tiba hadir di mimpi. Kadang seperti notifikasi yang nggak kunjung muncul. Kadang, ia hadir dalam senyap meskipun ada suara. Dan di sinilah, Spotify diuji.
Sepi nggak butuh banyak usaha untuk hadir. Ia licik. Menyelinap di antara tawa. Duduk diam di pojok ruangan, mengamati kamu yang berpura-pura sibuk. Ia datang saat kamu sendirian, tapi juga bisa muncul di tengah keramaian. Ironis, ya?
Sepi bukan musuh. Tapi ia bisa berbahaya kalau dibiarkan tumbuh liar. Ia adalah ruang kosong dalam hati yang tidak bisa diisi dengan suara. Bahkan suara semerdu Adele pun kadang hanya jadi latar, bukan jawaban.
Saat kamu sedang merindukan seseorang yang nggak bisa kamu hubungi lagi, atau ketika kamu merasa tidak cukup meski sudah berusaha sekuat tenaga, sepi datang. Ia tidak butuh undangan.
Dan ketika itu terjadi, kamu bisa saja menyalakan Spotify. Mencari lagu yang “relate”. Tapi lagu itu hanya memperbesar gema yang sudah ada. Kamu merasa didengar, iya. Tapi apakah kamu sembuh? Belum tentu.
Spotify seperti pelukis yang mencoba menutup celah di dinding hati dengan warna. Ia hebat, tapi tidak sakti. Ia bisa bantu kamu menangis, tapi tidak menjawab kenapa kamu merasa hampa. Ia seperti obat penenang, bukan obat penyembuh.
Di sisi lain, rasa sepi seperti hujan deras yang turun di siang bolong. Tak terduga. Tapi kadang perlu. Karena setelah hujan, tanah mengeluarkan aroma yang menenangkan. Begitu juga sepi. Ia mengajarkan kita untuk mendengarkan suara diri sendiri, yang sering kita bisukan dengan keramaian.
Mungkin bukan soal siapa yang menang, tapi bagaimana mereka berdamai. Kadang, sepi perlu ditemani musik, agar tidak terlalu menakutkan. Dan kadang, musik perlu sepi, agar maknanya terasa.
Ketika Lirik Menjadi Cermin
Ada momen di mana lirik lagu terasa seperti kutipan dari buku harian kita. Seolah penyanyinya duduk di samping kita semalam, menyimak isi hati yang berantakan. Dan kita merasa: “Akhirnya, ada yang mengerti.”
Itu bukan keajaiban. Itu adalah kekuatan narasi dalam musik. Dan Spotify tahu itu. Ia menyusun daftar putar seperti menulis surat cinta tanpa nama penerima. Ia mencoba jadi jembatan antara kamu dan dirimu sendiri.
Musik bisa menemani, tapi tidak bisa menggantikan pelukan. Ia bisa menghangatkan hati, tapi tidak bisa mengganti obrolan tengah malam yang sebenarnya kamu butuhkan. Spotify adalah lilin di ruangan gelap. Tapi lilin juga bisa padam.
Solusi di Antara Denting Nada
Mungkin, jawaban bukan memilih antara Spotify atau rasa sepi. Tapi memanfaatkan keduanya. Dengarkan lagu, ya. Menangis juga nggak apa-apa. Tapi jangan berhenti di situ. Setelah lagu terakhir selesai, dan sepi datang menjemput lagi, hadapilah.
Baca Juga : Kenapa Lagu Lama Lebih Ngena? Spotify Punya Jawabannya
Tanya pada sepi: “Kamu mau apa?”
Kadang, jawabannya mengejutkan. Kadang, ia hanya ingin kamu jujur—pada dirimu sendiri.
Dan Spotify? Biarkan dia tetap di sana. Sebagai teman. Sebagai pengingat bahwa kamu tidak sendiri sepenuhnya. Tapi jangan jadikan dia pelarian abadi.
Di era digital, sepi punya lawan tangguh. Tapi sepi juga belajar. Ia ikut berevolusi. Sekarang, ia tahu cara menyelinap lewat notifikasi yang tak dibuka, lewat grup chat yang sunyi, lewat lagu favorit yang tak lagi terasa spesial.
Spotify menang dalam banyak hal—ia menyatukan dunia lewat musik. Tapi rasa sepi? Ia tetap juara bertahan dalam hal menyentuh sisi paling rawan dalam diri manusia.