Sepotong Senyum yang Tertinggal di Kursi Bioskop Baris Terakhir (Alina Novel)

Alinaone.org – Langit sore menua dalam balutan jingga, sementara lampu-lampu kota mulai menggeliat malu-malu. Di sudut kota yang sudah mulai dilupakan peta wisata, berdirilah sebuah bioskop tua bernama “Paradiso”. Plang namanya sudah mengelupas, huruf “a”-nya nyaris copot, dan aroma popcorn basi seolah jadi parfum abadi di lorong masuknya. Tapi, justru di tempat seperti itulah keajaiban suka bersembunyi—di antara debu, kenangan, dan suara-suara sunyi yang tak pernah benar-benar hilang.

Sepotong Senyum yang Tertinggal di Kursi Bioskop Baris Terakhir

Di baris terakhir bioskop itu, kursi nomor H-12, seseorang pernah tertawa terlalu keras. Tertangkap oleh cahaya redup proyektor, senyumnya tertinggal, menggantung di udara seperti lagu yang tak selesai dimainkan. Tak ada yang benar-benar ingat siapa dia. Tapi, tiap malam, penjaga bioskop yang sudah setua mesin proyektor sering melihat sesuatu. Bukan hantu, bukan juga bayangan. Lebih seperti… gema tawa. Bekas bahagia yang tak mau pulang.

Baca Juga : Di Balik Jendela Tua yang Selalu Menatap Senja (Alina Novel)

Namanya Aksa. Usianya 27, dan rambutnya selalu berantakan seperti habis berkelahi dengan mimpi buruk. Ia bekerja sebagai penulis naskah film—atau lebih tepatnya, mantan penulis yang sekarang lebih banyak menatap kursor berkedip di layar laptop sambil menunggu inspirasi yang tak kunjung datang.

Suatu malam, karena bosan dan kepala nyaris meledak, ia memutuskan menonton film di Paradiso. Bukan karena filmnya bagus, tapi karena tiketnya cuma 15 ribu. Di dalam, hanya ada tiga penonton lain, semua duduk jauh di depan. Tanpa pikir panjang, Aksa memilih duduk di baris terakhir, kursi H-12.

Saat lampu dimatikan dan layar menyala, sesuatu terasa… aneh. Bukan dalam arti menyeramkan. Lebih seperti saat kamu masuk ke kamar kosong, tapi merasa ada seseorang yang baru saja pergi. Ada aroma familiar, wangi parfum bunga melati, samar tapi nyata. Dan… suara. Tawa kecil. Lembut. Menggelitik.

Aksa menoleh. Tak ada siapa-siapa. Tapi ia merasa kursi di sebelahnya hangat, seperti baru saja diduduki seseorang.

Ia mengernyit, lalu tertawa kecil. “Gila, lo udah terlalu lama nulis horor, Saka.”

Tapi malam itu, film yang ditonton terasa berbeda. Padahal hanya rom-com biasa, tapi Aksa tertawa sampai perutnya sakit. Dan entah kenapa, setelah film selesai, ia merasa lebih ringan. Seperti habis ngobrol dengan sahabat lama. Saat melangkah keluar, ia sempat menoleh ke kursi H-12. Sekilas, seperti ada siluet gadis tersenyum—tapi lenyap begitu lampu menyala terang.

Hari-hari berikutnya, Aksa terus kembali. Selalu duduk di H-12. Selalu merasa seperti ditemani. Dan setiap malam, ia mulai menulis. Kata-kata mengalir deras, seperti air yang lama tersumbat. Ia tak tahu kenapa. Ia hanya tahu, inspirasi datang tiap kali duduk di baris terakhir bioskop tua itu.

Sampai suatu malam, hujan menggila di luar, Aksa masuk dengan jaket basah kuyup. Film hampir mulai, dan saat ia duduk di H-12… ada yang berbeda.

Seseorang sudah duduk di sebelahnya.

Seorang gadis. Rambutnya ikal sebahu. Senyumnya… damai. Seolah membawa aroma senja dan kenangan masa kecil. Ia menoleh, menatap Aksa, dan berkata, “Akhirnya kita ketemu.”

Aksa tertegun. Jantungnya seperti jatuh dari ketinggian.

“Maaf, kita kenal?”

“Aku penonton yang selalu duduk di sebelahmu. Tapi kamu nggak pernah benar-benar melihat.”

Aksa tertawa gugup. “Gimana bisa? Bioskop ini sepi banget.”

Gadis itu hanya mengangkat bahu. “Kadang, yang paling nyata justru yang tak terlihat.”

Film dimulai. Mereka menonton dalam diam. Tapi bukan diam yang canggung. Lebih seperti diam yang saling memahami. Kadang mereka tertawa di bagian yang sama. Kadang menoleh bersamaan, lalu saling tersenyum.

Setelah film usai, Aksa hendak bertanya nama gadis itu. Tapi ia sudah tak ada. Kursi di sebelahnya kosong, dingin.

Sejak malam itu, Aksa menulis seperti orang kesurupan. Cerita demi cerita mengalir, selalu terinspirasi oleh gadis yang duduk di kursi sebelah. Ia mulai menyebutnya dalam pikirannya sebagai Senja, karena pertemuan mereka selalu beraroma petang. Dalam ceritanya, Senja selalu muncul sebagai tokoh utama. Sebagai tawa yang menyelamatkan. Sebagai pelipur dari sepi.

Suatu hari, Aksa kembali ke Paradiso, tapi bioskop itu ditutup sementara karena listrik mati. Tanpa tempat untuk melarikan diri, ia pulang dan menemukan sebuah surat di bawah pintu apartemennya. Tanpa nama pengirim.

Isinya hanya dua baris:

“Kadang, yang pergi hanya raga. Tapi senyum bisa tinggal lebih lama.
Temui aku di pemutaran terakhir.”

Tanpa pikir panjang, Aksa kembali ke Paradiso malam itu. Hujan turun seperti biasa. Bioskop sepi. Tapi pintunya entah kenapa terbuka sedikit.

Ia masuk, dan layar sudah menyala. Tak ada petugas. Tak ada penonton lain.

Hanya dia. Dan di baris terakhir, kursi H-12… Senja sedang menunggunya.

Ia menoleh. Mengajak Aksa duduk. Mereka menonton tanpa suara. Hanya ada adegan hitam-putih, berisi kenangan. Aksa kecil tertawa. Ibunya memeluknya. Ayahnya mengangkatnya ke bahu. Kemudian layar berubah—gadis kecil duduk sendiri di bioskop tua. Menangis diam-diam. Sampai seorang bocah laki-laki duduk di sebelahnya, menyodorkan permen.

Baca Juga : Ketika Rindu Berbicara dalam Diam (Aliana Novel)

Itu mereka. Aksa dan Senja. Bertahun-tahun lalu. Saat dunia masih belum rumit.

Aksa menatap Senja. “Itu… kamu?”

Gadis itu tersenyum. “Aku nggak pernah pergi dari sini. Hanya kamu yang lupa.”

Tiba-tiba lampu menyala. Ruangan kosong. Tak ada siapa-siapa. Hanya Aksa, berdiri sendirian di tengah bioskop tua.

Tapi ia tidak merasa sendiri.

Tahun-tahun berlalu. Paradiso akhirnya tutup permanen. Gedungnya dirobohkan. Tapi legenda terus hidup. Penulis muda dari kota itu, Aksa Mahardika, terkenal karena kisah-kisahnya yang menghangatkan hati. Dalam setiap bukunya, selalu ada tokoh bernama Senja. Selalu ada bioskop tua. Dan selalu ada sepotong senyum di baris terakhir.

Orang-orang bilang, siapa pun yang duduk di kursi H-12, jika cukup hening dan cukup jujur, bisa mendengar tawa kecil. Merasa ditemani. Dan mungkin—jika beruntung—melihat sosok gadis dengan senyum yang tinggal lebih lama dari film manapun.

Senyum yang tak pernah benar-benar pergi.

Senyum yang… tertinggal di kursi bioskop baris terakhir.

url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url