Alinaone.org – (Perjalanan panjang mencari arti ‘rumah’ yang tak selalu berupa bangunan) Aku berdiri di ambang pintu, tangan gemetar menahan kunci yang sudah tua, berkarat di ujung-ujungnya. Kunci yang dulu mengantar senyum kecil ke wajahku setiap pulang sekolah, kini terasa seperti besi dingin yang menusuk telapak tangan.
“Ini bukan rumah lagi,” bisikku lirih.
Dindingnya masih sama. Catnya sudah mengelupas, seperti hati yang lama tak disentuh kasih. Tapi yang lebih menyakitkan, aroma itu—bau kayu tua dan kenangan yang busuk—masih tinggal. Aroma yang dulu kurindukan saat jauh, sekarang membuatku ingin muntah.
Selamat Tinggal, Rumah yang Tidak Pernah Jadi Pulang (Aliana Novel)

Ibuku duduk di ruang tengah, kursi goyangnya bergerak lambat seperti waktu yang mogok. Dia tidak menyapaku, hanya menatap kosong ke luar jendela. Tubuhnya tetap di sana, tapi jiwanya sudah pergi sejak lama. Mungkin sejak ayah meninggalkan kami, atau mungkin sejak aku mulai merasa rumah ini bukan tempat yang aman lagi.
Baca Juga : Di Bawah Panji Langit Timur (Aliana Novel)
Aku berjalan pelan, melewati koridor sempit yang dipenuhi foto-foto masa kecil. Ada fotoku yang tertawa tanpa beban, ada foto ayah dengan senyum yang kini terasa asing, dan foto ibu—wajah muda yang pernah penuh cinta, kini tinggal kenangan hitam putih.
Aku pernah percaya bahwa rumah adalah tempat kita tumbuh. Tempat kita jatuh, dan selalu bisa bangkit lagi. Tapi semakin dewasa, semakin aku sadar: tidak semua rumah memberi ruang untuk tumbuh. Ada yang justru jadi penjara, dengan jeruji yang tak kasat mata—berupa harapan, tuntutan, dan luka yang tak pernah disembuhkan.
Aku mulai merasa itu saat umurku empat belas. Saat aku menangis di kamar karena nilai matematikaku jatuh, dan ayah hanya menatapku dengan kekecewaan yang menggantung di matanya. “Rumah ini tak butuh pecundang,” katanya.
Kalimat itu menggema, bertahun-tahun setelahnya, bahkan di mimpi-mimpiku yang paling sunyi.
Ibu? Dia sibuk menenangkan badai yang tidak dia ciptakan. Selalu begitu. Memaafkan luka yang bukan dia goreskan. Menerima diam yang begitu menyakitkan. Dan aku… aku belajar untuk tak bersuara.
Malam itu, dua minggu lalu, aku memutuskan pulang. Setelah bertahun-tahun kabur. Entah apa yang mendorongku—mungkin rindu, mungkin sekadar ingin melihat apakah rumah itu masih berdiri. Tapi di dalam diriku, ada yang berbisik: “Cari tahu, apa rumah masih bisa kamu temui.”
Kupikir aku akan menemukan jawaban. Tapi yang kutemukan justru kehampaan. Ibu tak ingat namaku lagi. Alzheimer, kata dokter. Ironis. Ia yang paling hafal setiap mimpi dan ketakutanku, kini lupa siapa aku. Rumah ini pun ikut lupa—tak mengenal langkah kakiku, tak merindukan suaraku.
Aku keluar ke halaman belakang. Pohon jambu itu masih ada, walau batangnya kini rapuh, seolah menua bersama pemiliknya. Dulu aku sering duduk di bawahnya, membaca buku, menulis puisi yang kutaruh diam-diam di kotak surat. Aku pikir, suatu hari seseorang akan membacanya dan mengerti betapa aku haus pulang. Tapi tak pernah ada balasan.
Dan sekarang, aku sadar… mungkin rumahku bukan di sini. Mungkin rumahku ada pada seseorang yang mengerti diamku. Pada sahabat yang mendengar ceritaku tanpa menghakimi. Pada kekasih yang menatapku seperti aku layak dicintai, meski dengan luka dan masa lalu yang kacau.
Rumah, ternyata, bukan selalu tempat. Kadang, ia adalah perasaan. Kadang, hanya sekadar pelukan yang tulus.
Baca Juga : Aku Pernah Menjadi Sepi di Kursi Nomor 5C (Aliana Novel)
Aku kembali masuk. Melihat ibu tertidur di kursi goyang. Wajahnya tenang. Seperti laut sebelum badai. Aku mendekat, memeluknya pelan. Ia menggeliat sebentar, lalu memegang tanganku.
“Rumah…?” bisiknya, nyaris tak terdengar.
Aku tersenyum, meski air mataku jatuh begitu saja. “Iya, Bu. Rumah.”
Tapi dalam hatiku, aku tahu—ini bukan rumahku lagi.
Esok paginya, aku membereskan barang-barang. Tak banyak yang ingin kubawa. Hanya selembar foto kami bertiga, saat aku ulang tahun ke tujuh. Di foto itu, kami tersenyum. Entah senyum sungguhan atau pura-pura, tapi itu satu-satunya momen yang ingin kuabadikan.
Sebelum pergi, aku menulis sepucuk surat. Kutaruh di meja ruang tamu, tepat di bawah vas bunga yang sudah lama kering:
“Ibu,
Jika suatu hari kau ingat lagi siapa aku, ingat juga bahwa aku pernah mencintai rumah ini. Tapi rumah juga bisa patah, Bu. Dan saat itu terjadi, aku harus belajar membangun rumah sendiri—dari tawa, dari luka, dari cinta yang baru.
Baca Juga : Jejak Yang Tertulis di Peta Dunia (Aliana Novel)
Terima kasih telah menjadi awal dari semua. Tapi aku harus pergi.
Selamat tinggal, rumah yang tak pernah benar-benar jadi pulang.”
Aku mengunci pintu, untuk terakhir kali. Kunci itu kutinggalkan di pot bunga di depan pintu. Biarlah ia berkarat di sana, menjadi saksi bahwa pernah ada seseorang yang mencoba kembali.
Tapi tak semua kepulangan berarti tinggal.
Kadang, pulang adalah tahu kapan waktunya pergi.