Satu-satunya Hujan yang Tak Membasahi Hatiku (Alina Novel)

Alinaone.org – Langit sore itu kelabu. Tapi bukan kelabu yang menggertak petir atau menebar badai. Ini kelabu yang lelah, kelabu yang menyerah. Jalanan lengang seperti menahan napas, dan angin bertiup pelan seolah tak ingin menyinggung siapa pun. Tapi ada yang bergemuruh di dalam diriku—bukan petir, bukan angin, tapi kenangan yang terus mengetuk-ngetuk pintu kesadaran.

Satu-satunya Hujan yang Tak Membasahi Hatiku

Aku berdiri di halte yang sama, di tempat yang dulu pernah menjadi saksi janji-janji yang kini tak lagi punya alamat. Orang-orang lalu lalang, sibuk dengan gawai dan pikirannya masing-masing. Tapi aku diam. Diam dalam pusaran waktu yang membeku, diam dalam luka yang sudah lama enggan berdarah lagi.

Baca Juga : Surat yang Ditulis dengan Tinta Air Mata (Alina Novel)

Lalu hujan turun.

Bukan deras, bukan pula gerimis manja. Ini hujan yang ragu, seperti sedang memutuskan apakah ia ingin turun sepenuh hati atau hanya mampir sebentar untuk memastikan bumi masih ada. Aku menengadah. Setetes dua tetes jatuh di wajahku. Tapi aneh, tidak ada yang merembes ke dalam. Tidak ada yang menyejukkan atau menyakitkan. Hatiku tetap kering. Beku.

Kau pernah bilang, hujan itu seperti rindu. Turunnya tak bisa direncanakan, dan seringkali datang di waktu yang tak tepat. Kau suka hujan. Katamu, ia menghapus jejak-jejak kesedihan di aspal. Tapi kau lupa, beberapa jejak justru ingin disimpan. Sebab, tanpa jejak, aku tak tahu lagi ke arah mana harus melangkah untuk pulang.

Namamu masih terselip di sela-sela jeda napasku. Bukan sebagai panggilan, tapi sebagai bisikan samar yang muncul setiap kali dunia terasa terlalu sunyi. Ada kalanya aku memanggilmu diam-diam, tanpa suara, hanya dengan gemetar di ujung jemari dan gemuruh di dada. Tapi yang menjawab hanyalah keheningan.

Pernah suatu kali, aku mencoba menulis surat untukmu. Bukan untuk dikirim, hanya untuk menenangkan tangan yang terlalu lama tidak menyentuh kata-kata. Tapi setiap huruf terasa salah, setiap kalimat terasa curang. Karena bagaimana mungkin aku menulis tentangmu tanpa merobek-robek bagian dalam diriku sendiri?

Aku ingat percakapan terakhir kita. Kau berkata, “Mungkin kita terlalu banyak berharap pada langit, padahal bumi pun kadang tak sanggup menopang kita.” Lalu kau pergi. Seperti kabut yang tahu kapan harus menyerah pada pagi. Tak ada pelukan, tak ada kalimat perpisahan yang manis. Hanya satu gerakan tangan dan punggung yang perlahan menjauh, membawa semua musim yang pernah kita simpan bersama.

Dan sejak itu, setiap hujan seperti upacara. Aku berdiri, menunggu, seolah kau akan muncul dari tikungan jalan, membawa payung biru itu, tersenyum dan bilang, “Maaf aku telat.” Tapi yang datang hanya angin. Hujan tetap turun, tapi hatiku tetap gersang.

Pernah aku mencoba mencintai lagi. Bukan karena lupa, tapi karena lelah. Lelah berharap pada bayangan. Tapi setiap senyum yang kuterima, setiap genggaman yang kuberikan, terasa seperti sandiwara yang naskahnya kutulis dengan tinta palsu. Tidak ada yang menyentuh inti. Tidak ada yang membuat dadaku bergetar seperti dulu saat kau memandangku dan diam-diam memainkan ujung lengan bajuku, tanda kau gugup tapi bahagia.

Baca Juga : Perjalanan Panjang Menuju Pintu yang Tak Pernah Kubuka (Alina Novel)

Aku menghindari lagu-lagu lama. Juga kafe tempat kita biasa duduk diam tanpa perlu bicara apa pun. Aku mengganti rute perjalanan pulang, mengganti wangi sabun, bahkan mengganti cara tersenyum. Tapi tetap saja, jejakmu terlalu keras kepala untuk hilang begitu saja. Kau seperti aroma tanah setelah hujan—tidak terlihat, tapi selalu tahu cara datang tanpa izin.

Dan sekarang, aku di sini lagi. Di tengah hujan yang tak bisa menyentuh hatiku. Di tengah kenangan yang tetap basah meski waktu terus berjalan. Aku ingin menangis, tapi air mataku pun seperti sudah paham bahwa tak ada gunanya. Apa gunanya menangisi seseorang yang bahkan tak lagi menoleh ke belakang?

Beberapa orang bilang, waktu menyembuhkan segalanya. Tapi mereka lupa, ada luka yang justru bertahan karena kita tak ingin sembuh. Karena sembuh artinya melupakan. Dan melupakanmu… entahlah, seperti menghapus bab terakhir dari buku yang membuatku hidup.

Kau adalah satu-satunya hujan yang tak pernah bisa membasahi hatiku. Kau turun, tapi tak menyentuh. Kau hadir, tapi hanya sebagai gema. Dan aku? Aku berdiri di sini, menunggu reda yang tak pernah datang.

Seseorang berteduh di sampingku. Wajah asing, tapi senyumnya hangat. Ia menawariku payung. Aku menolak dengan anggukan kecil. Hujan terlalu akrab untuk kutolak, meski ia tak lagi menyentuh jiwaku. Kami berdiri bersebelahan. Diam. Tapi tidak canggung. Hujan turun seperti irama yang tak butuh lirik. Aku ingin berbicara, tapi tak tahu harus mulai dari mana.

“Pernahkah kau merasa hujan bisa memahami?” tanyanya tiba-tiba, pelan.

Aku menoleh. “Hujan bisa mengerti. Tapi belum tentu dia peduli.”

Dia tertawa kecil, lalu menatap ke depan. “Aku suka jawaban itu.”

Entah mengapa, kalimat itu seperti jendela yang sedikit terbuka di ruangan gelap. Tak menerangi banyak, tapi cukup untuk melihat satu langkah ke depan.

Namamu masih ada di hatiku, masih duduk di sudut paling sunyi. Tapi kini, mungkin aku tak harus berdiri sendiri dalam hujan. Mungkin, hanya mungkin, ada orang lain yang juga basah karena luka, tapi masih bisa tersenyum.

Baca Juga : Kamar Kosong Tempat Aku Menyembunyikan Semua Versi Diriku (Alina Novel)

Aku melangkah pelan, meninggalkan halte itu. Hujan masih turun. Tapi langkahku mulai hangat. Bukan karena cinta baru, bukan karena luka sudah sembuh. Tapi karena aku akhirnya menyadari—tak semua hujan harus membasahi, untuk bisa meninggalkan jejak.

Dan kau, tetap jadi satu-satunya hujan yang tak pernah membasahi hatiku.

Tapi itu tak berarti aku harus berhenti berjalan.

url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url