Alinaone.org – Langit menggantung sendu di atas kepala Tara, seperti seseorang yang menahan tangis terlalu lama dan akhirnya menyerah. Langit bukan lagi biru. Bukan pula kelabu. Ia seperti warna yang tidak memiliki nama, seperti hati yang kehilangan arah.
Tara duduk sendiri di halte yang lengang. Orang-orang sudah lama hilang dari tempat ini, sejak jalanan besar dialihkan. Hanya suara gesekan angin dan daun kering yang jadi teman. Di telapak tangannya, secarik kertas dengan tulisan tinta biru yang telah luntur: “Pulanglah, jika kau ingin diingat.”
Itu tulisan Ibu. Tulisannya dulu. Sebelum semuanya berubah.
Ayah meninggal ketika Tara masih SMA. Kecelakaan yang begitu tiba-tiba seperti petir siang bolong. Lalu Ibu—yang dulu penuh cerita dan tawa—pelan-pelan memudar seperti kabut pagi yang enggan bangkit. Rumah mereka jadi sunyi. Sunyi yang menyakitkan. Dan Tara… lari. Pergi jauh dari kota kecil bernama Srawung. Meninggalkan luka tanpa pamit.
Rumah yang Hanya Bisa Dilihat Saat Kau Sedih

Kini, ia kembali. Tapi yang membuatnya kembali bukan rindu. Bukan harapan. Tapi kelelahan. Dunia terlalu berisik, dan hatinya tak punya telinga lagi untuk mendengar.
Baca Juga : Di Balik Jendela Tua yang Selalu Menatap Senja (Alina Novel)
Ia berdiri, langkahnya gontai menyusuri jalan kecil di sisi sawah. Dulu ia hapal setiap sudut desa ini, tapi sekarang semuanya tampak asing. Seolah dunia menolak mengingatnya.
Lalu ia melihatnya.
Sebuah rumah di ujung jalan setapak. Tidak besar. Tidak mewah. Tapi… aneh. Rumah itu seperti dilukis di udara. Dindingnya dari kayu tua, warnanya kusam, nyaris larut oleh waktu. Tapi atapnya merah menyala, terlalu merah untuk rumah sepi seperti itu.
Yang lebih aneh: Tara yakin rumah itu tidak pernah ada dulu. Tidak di peta. Tidak di kenangannya. Tidak pernah.
Namun entah kenapa, ia tidak merasa takut. Justru hatinya seperti disentuh tangan dingin yang lembut—didorong untuk mendekat.
Langkahnya ringan. Seolah kakinya tak lagi miliknya. Daun pintu terbuka perlahan tanpa disentuh, dan angin tipis menyapanya, membawa aroma kayu, debu, dan… kenangan.
“Selamat datang,” kata suara dari dalam.
Suara itu… sangat familiar.
Tara melangkah masuk. Lantainya berderit lembut, seperti berbisik. Ruangan di dalam tidak terlalu terang, tapi tidak juga gelap. Ada perapian menyala dengan tenang, seolah sudah tahu akan kedatangannya. Di kursi goyang, duduk seorang perempuan tua dengan selendang batik melingkar di bahunya.
Mata Tara membelalak. “Ibu?”
Perempuan itu tersenyum. Tapi bukan senyum biasa. Senyum itu seperti musim semi yang muncul di tengah badai salju. Hangat. Aneh. Mustahil.
“Kau datang juga akhirnya,” bisiknya.
Tara menelan ludah. “Tapi… Ibu sudah—”
“Sudah lama pergi, iya. Tapi rumah ini bukan tempat biasa, Nak. Ini rumah yang hanya bisa dilihat saat hatimu sedih.”
Perkataan itu menggantung di udara, berat seperti awan hujan.
“Rumah ini… milik siapa?”
“Semua orang yang pernah kehilangan sesuatu, tapi terlalu takut untuk mencarinya lagi.”
Tara diam. Lidahnya kelu. Ia menatap sekeliling. Setiap sudut rumah itu… menyimpan sesuatu yang akrab. Jam dinding yang berdetak dengan suara rendah. Foto-foto lama yang tergantung miring di dinding. Bahkan aroma teh melati yang selalu Ibu seduh saat hujan datang.
“Kenapa sekarang?” gumam Tara. “Kenapa baru sekarang aku bisa melihatnya?”
Ibu bangkit perlahan, mendekatinya. “Karena sekarang kau cukup hancur untuk membuka mata yang lama tertutup.”
Tara terdiam. Ia ingin menangis, tapi air matanya sudah habis sejak kemarin. Yang tersisa hanya kekosongan yang menyesakkan.
“Ibu…” bisiknya, hampir tak terdengar. “Maaf aku pergi. Maaf aku nggak pulang waktu itu. Maaf aku…”
Tapi sebelum semua kata keluar, Ibu memeluknya. Peluk yang terlalu nyata untuk menjadi mimpi. Terlalu hangat untuk sekadar halusinasi.
“Maaf itu tak perlu jika yang kau cari adalah pulang,” katanya. “Dan kau sudah pulang.”
Pelan-pelan, suasana rumah berubah. Jendela terbuka, cahaya masuk seperti senyum pagi yang ragu-ragu. Di dapur, Tara melihat dirinya kecil—berlarian sambil tertawa, memeluk boneka kelinci abu-abu. Di ruang tengah, Ayah duduk membaca koran, sesekali menoleh dan tertawa.
Itu bukan kenangan biasa. Itu seperti film hidup yang diputar ulang oleh rumah ini. Rumah yang mengingatkan bahwa luka bisa jadi pintu, bukan akhir.
“Ibu… aku capek,” lirih Tara.
“Capek itu manusiawi, Nak. Yang tidak manusiawi adalah berpura-pura kuat terus.”
Tara mendongak, menatap wajah Ibu. Tapi kini… wajah itu mulai buram. Kabur. Rumah juga perlahan kehilangan bentuknya, seperti pasir yang larut oleh air.
“Ibu—jangan pergi lagi. Aku belum siap—”
“Tak perlu siap untuk berpisah. Yang penting kau tahu, tak semua yang hilang benar-benar pergi. Kadang, mereka hanya menunggu di tempat yang tak bisa dilihat… kecuali saat kau benar-benar butuh.”
Dan Tara jatuh. Bukan dalam arti sebenarnya. Tapi seperti jatuh ke dalam dirinya sendiri. Gelap. Dingin. Sepi.
Ketika ia membuka mata, ia sudah tidak di rumah itu lagi. Ia duduk di bangku halte. Masih sendiri. Tapi sesuatu dalam dirinya berubah. Tidak besar. Tapi nyata.
Tangannya menggenggam secarik kertas yang kini tak lagi luntur. Tulisan itu jelas:
“Pulanglah, jika kau ingin diingat.”
Dan entah kenapa, Tara tersenyum. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia ingin hidup. Bukan karena sudah sembuh. Tapi karena tahu, di ujung luka… ada rumah.
Rumah yang hanya bisa dilihat saat kau sedih.
Dan itu cukup.
Malam turun cepat di Srawung, seolah langit tak ingin memperlihatkan wajahnya terlalu lama. Tara masih duduk di ranjang kamar lamanya—yang berdebu, sunyi, tapi penuh napas masa lalu. Dindingnya mengelupas, dan jendela kayunya berdecit setiap kali disentuh angin. Namun ada rasa damai yang ganjil. Seperti ketika luka belum sembuh, tapi rasa nyerinya sudah tidak setajam kemarin.
Di atas meja kayu usang, tersusun buku-buku lama. Salah satunya berisi coretan tangan Ibu: jurnal tua dengan sampul cokelat lusuh, diikat benang merah.
Tara membukanya pelan.
20 Mei 1993
“Hari ini aku melihat rumah itu lagi. Rumah yang tidak pernah ada di peta, tapi selalu muncul saat aku merasa sangat sendiri. Aku pikir dulu itu cuma mimpi. Tapi setelah melihatnya tiga kali, aku yakin: rumah itu nyata, tapi hanya bagi yang patah hati.”
Tara membeku. Jurnal ini… mengungkap lebih dari yang ia duga.
Halaman demi halaman ia baca, dan semuanya menceritakan satu hal: rumah itu bukan miliknya seorang. Ibu pernah ke sana. Bahkan neneknya juga. Rumah itu seperti pusaka rahasia yang diwariskan turun-temurun, tapi bukan lewat darah. Lewat rasa.
“Seseorang pernah bilang padaku,” tulis Ibu, “bahwa rumah itu tidak dibangun oleh tukang. Rumah itu dibentuk oleh air mata manusia. Semakin banyak luka yang tak dibicarakan, semakin nyata ia tumbuh. Ia bukan tempat tinggal. Ia tempat berpulang sesaat sebelum kau bisa kembali bangkit.”
Baca Juga : Spotify dan Perjalanan Waktu Lewat Lagu yang Paling Saya Sukai
Tara menutup buku itu. Dada kirinya terasa sesak, tapi bukan karena sedih. Karena sesuatu mulai menyala. Rasa penasaran. Rasa ingin tahu. Apakah orang lain juga pernah ke rumah itu?
Dan kenapa tidak ada yang pernah membicarakannya?
Esoknya, Tara menyusuri pasar desa. Banyak wajah asing, tapi satu wajah menarik perhatiannya: Pak Wiryo. Penjual jamu tua yang dulu selalu duduk di emperan, seperti patung yang tak pernah pindah posisi.
“Pak… Bapak kenal rumah tua di ujung jalan sawah itu?” tanya Tara, hati-hati.
Pak Wiryo menatapnya dalam-dalam. Lama. Terlalu lama untuk sebuah pertanyaan biasa.
“Akhirnya kau melihatnya juga,” katanya, seperti gumaman angin sore.
“Bapak tahu rumah itu?”
“Dulu waktu simbahmu meninggal, ibumu juga ke sana. Dan dulu… waktu aku kehilangan anakku karena demam berdarah, aku juga pernah masuk ke rumah itu.”
Tara gemetar. Jadi benar. Rumah itu bukan mitos. Tapi juga bukan milik siapa pun. Atau mungkin… milik semua orang yang butuh pulang, tapi tak tahu ke mana.
“Kenapa nggak pernah ada yang cerita?” bisik Tara.
Pak Wiryo menyender, matanya menatap jauh. “Karena rumah itu bukan untuk dibicarakan. Rumah itu memilih siapa yang boleh tahu. Bukan kita yang mencari, tapi dia yang muncul saat kita kehilangan arah.”
Diam. Hening. Bahkan angin pun seolah mendadak malu.
Pak Wiryo lalu membuka tas kain lusuhnya, mengeluarkan benda kecil berbentuk rumah dari kayu. “Kalau kau bisa lihat rumah itu, simpan ini. Katanya… ini akan membantumu kembali, kalau kau tersesat lagi.”
Tara mengambilnya. Berat. Hangat. Dan entah kenapa… berdenyut.
Malamnya, hujan turun pelan. Bukan hujan deras, tapi hujan yang ragu-ragu. Tara berdiri di depan cermin, menatap bayangannya sendiri. Di balik matanya, ada jejak rumah itu. Rumah yang tidak bisa dilihat kecuali saat kau patah.
Tapi ada satu hal yang belum ia lakukan.
Kembali.
Kembali ke rumah itu. Bukan untuk bertemu Ibu. Tapi untuk bertanya.
Dan seperti dipanggil oleh suara tanpa bunyi, Tara mengenakan jaket, membawa boneka kelinci lamanya, dan melangkah ke luar. Tanpa lampu. Tanpa penerangan. Hanya diterangi cahaya dari ingatan.
Langkah demi langkah membawa Tara ke jalan sawah itu lagi. Tapi kali ini… rumah itu tidak ada.
Ia berhenti. Memandang sekitar. Hanya sawah. Hanya angin.
Namun tiba-tiba, boneka kelinci di tangannya bergetar. Lalu… rumah itu muncul. Begitu saja. Seperti dilukis oleh udara malam. Berdiri sunyi. Menantinya.
Ia masuk.
Dan rumah itu berbeda kali ini.
Tidak ada Ibu.
Tidak ada perapian.
Hanya lorong panjang… dengan banyak pintu.
Di masing-masing pintu, tertulis nama: “Sari”, “Damar”, “Pak Wiryo”, “Tara”.
Tangannya gemetar saat menyentuh pintu dengan namanya sendiri.
Dibukanya perlahan…
Dan ia melihat dirinya.
Bukan dirinya sekarang. Tapi dirinya yang duduk sendirian di sudut kamar, memeluk lutut, menahan tangis. Usia sepuluh tahun. Setelah Ayah meninggal. Ia menyaksikan dirinya yang dulu menangis tanpa suara.
Baca Juga : Ketika Rindu Berbicara dalam Diam (Aliana Novel)
Tara ingin memeluk anak kecil itu. Tapi tubuhnya tak bisa bergerak.
Dari balik bayangan, sosok Ibu muncul lagi. Kali ini bukan sebagai hantu, bukan mimpi. Tapi seperti kenangan yang menolak mati.
“Luka itu tidak hilang, Tara. Tapi kau bisa hidup berdampingan dengannya,” katanya lembut.
Dan Tara mengerti.
Rumah ini… adalah ruang bagi semua versi dirinya yang pernah terluka.
Dan untuk pertama kalinya, Tara tak ingin lari dari luka itu.
Ia masuk ke ruangan. Duduk di samping versi kecil dirinya. Memeluknya. Mengusap rambutnya.
Lalu semuanya memudar.
Saat ia membuka mata, fajar menyingsing. Udara pagi begitu dingin, tapi hangat di dadanya. Ia duduk di depan rumahnya sendiri—bukan rumah tua itu, tapi rumah tempat ia lahir dan tumbuh.
Di tangannya, boneka kelinci itu. Tapi kini, ada jahitan baru di perutnya. Jahitan berbentuk huruf kecil:
“Kau tidak sendiri.”
Tara tersenyum.
Ia tahu suatu hari mungkin akan sedih lagi. Akan hancur lagi.
Tapi kini, ia tahu satu hal yang pasti:
Akan selalu ada rumah… yang menunggunya pulang.