Perjalanan Panjang Menuju Pintu yang Tak Pernah Kubuka (Alina Novel)

Alinaone.org – Angin malam menyusup lewat celah jendela tua yang sudah lapuk. Aku duduk di kursi rotan, ditemani segelas kopi yang tak lagi hangat dan sebuah koper tua yang berdebu di sudut ruangan. Sudah lama aku memandangi koper itu, seperti seorang anak kecil menatap monster di bawah ranjang. Benda itu bukan sekadar koper; ia adalah kenangan yang dikunci rapat—seperti pintu yang selama ini tak pernah kubuka.

Perjalanan Panjang Menuju Pintu yang Tak Pernah Kubuka

Pintu itu ada di rumah masa kecilku. Sebuah rumah tua di pinggiran kota kecil yang sepi, rumah yang kini tinggal bayang-bayang. Setiap orang menyimpan satu tempat yang selalu ingin dihindari. Buatku, tempat itu adalah kamar ayah.

Aku tak pernah benar-benar tahu apa yang disimpan ayah di balik pintu kayu tua itu. Satu-satunya yang aku tahu: setiap kali aku mencoba mendekat, suasana berubah. Udara mengeras, seperti ada sesuatu yang menahan langkahku. Dan ayah selalu muncul dari balik bayangan lorong, dengan tatapan kosong dan suara berat:
“Jangan pernah masuk ke sana.”

Babak I – Tanda dari Masa Lalu

Tiga hari lalu, aku menerima surat. Bukan email, bukan pesan WhatsApp, tapi surat asli. Tulis tangan dengan tinta yang sedikit luntur, dari seseorang yang sudah lama hilang: Pamanku, Rendra.

Baca Juga : Surat yang Ditulis dengan Tinta Air Mata (Alina Novel)

“Jika kau membaca ini, berarti waktuku hampir habis. Ada sesuatu di rumah lamamu yang harus kau lihat. Bukalah pintu itu.”

Tanganku gemetar. Pintu itu? Yang tak pernah terbuka sejak ayah meninggal? Yang bahkan dalam mimpiku pun tak berani kusentuh?

Tapi entah kenapa, surat itu seperti menyalakan bara kecil di dadaku. Ada sesuatu yang memanggil. Bukan rasa penasaran, tapi semacam janji lama yang tertunda. Malam itu juga, aku berkemas dan naik bus terakhir menuju kota kecil tempat masa laluku tertidur.

Babak II – Rumah yang Menyimpan Napas

Langit mendung menggantung rendah saat aku sampai. Rumah itu berdiri seperti menara bisu, dengan jendela-jendela kusam dan pagar berkarat. Rumput menjulang liar, dan suara serangga mengisi kekosongan yang menusuk.

Aku berdiri lama di depan rumah, menunggu sesuatu. Mungkin hantu masa kecilku. Mungkin ayah. Tapi yang muncul cuma keheningan.

Pintu depan berderit saat kubuka. Bau kayu tua, debu, dan… sesuatu yang tak bisa dijelaskan—seperti aroma buku-buku tua yang menyimpan rahasia. Setiap langkahku di dalam rumah menggema, seolah rumah itu menelan suaraku dan menyimpannya rapat-rapat.

Kamar ayah masih ada di ujung lorong. Pintu itu masih tertutup, gagangnya berkarat, tapi jelas belum disentuh siapa pun sejak bertahun-tahun lalu. Di depannya, debu menebal seperti salju yang tak tersapu.

Aku tak langsung membukanya. Aku berjalan ke dapur dulu, menghidupkan lampu yang berkedip, menyentuh kembali benda-benda kecil yang dulu jadi bagian dari hari-hariku: panci berkarat, meja goyah, cangkir teh dengan retakan kecil. Rumah ini hidup, tapi lelah.

Babak III – Kunci yang Tak Pernah Ada

Malam tiba lebih cepat dari yang kukira. Hujan mulai turun. Angin mengetuk jendela seperti tangan-tangan gelisah. Aku duduk di ruang tengah sambil memandangi pintu kamar ayah. Aku tahu aku harus masuk. Tapi pintu itu terkunci.

Aku mencari-cari kunci. Di bawah lantai kayu yang longgar. Di balik lukisan usang di dinding. Di dalam piano tua yang tak pernah lagi bersuara. Dan di balik rak buku, aku menemukannya: sebuah amplop cokelat tua dengan tulisan:

“Untuk saat kau siap.”

Di dalamnya, kunci tua berkarat. Dan sehelai foto: aku dan ayah di bawah pohon ceri, tangannya menggenggam pundakku erat. Tapi yang membuatku menggigil bukan fotonya. Melainkan bayangan di jendela di belakang kami—bayangan seseorang yang tak pernah kukenal. Mata hitam pekat. Senyum setipis benang.

Babak IV – Pintu yang Bicara

Kunci itu pas di lubangnya. Dengan bunyi klik yang pelan tapi dalam, pintu terbuka sedikit. Udara dingin menyergap, seperti kamar itu menyimpan musim sendiri.

Perlahan aku mendorong pintu.

Ruangan itu gelap. Hanya cahaya petir sesekali yang menyingkap isinya. Buku-buku menumpuk di rak, meja tulis penuh catatan, dan di tengah ruangan: sebuah kursi goyang, kosong, tapi masih bergerak perlahan… seperti baru saja ditinggalkan seseorang.

Baca Juga : Di Antara Dinding yang Menguping Rahasia Kita (Alina Novel)

Aku menyalakan senter dan melangkah masuk. Dinding dipenuhi foto-foto, tapi semuanya dibalikkan—wajah-wajah yang disembunyikan. Ada sebuah jurnal di atas meja, dan saat kubuka halaman pertamanya, aku membaca nama yang membuat darahku beku:

“Eksperimen: Membuka Gerbang Ketiga.”

Ayahku bukan hanya seorang guru sejarah. Ia seorang peneliti spiritual, obsesif pada dunia tak terlihat. Catatannya penuh simbol aneh, sketsa ritual, hingga peta bintang. Ia mencari pintu ke dimensi lain—yang katanya bisa menghubungkan masa lalu, sekarang, dan sesuatu yang tak bisa dijelaskan manusia.

Aku membaca lebih jauh, dan satu kalimat mencolok, ditulis dengan tinta merah:

“Pintu ini tidak bisa dibuka sembarangan. Ia memilih sendiri siapa yang layak.”

Dan di bawahnya, satu kalimat tambahan:

“Jika kau mendengar namamu dipanggil dari balik pintu—JANGAN jawab.”

Babak V – Suara dari Dalam

Malam semakin larut. Hujan menjadi badai. Petir menyambar tanpa jeda. Dan saat itulah aku mendengarnya.

“Raka…”

Aku membeku. Suara itu datang dari balik lemari kayu di ujung ruangan. Ada pintu kecil di sana, nyaris tersembunyi. Gagangnya terbuat dari logam hitam, dingin seperti es. Suara itu terdengar lagi, lebih jelas.

“Raka… kamu mau tahu kebenaran?”

Tidak, aku tidak menjawab. Tapi kakiku bergerak sendiri. Seolah tubuhku tak lagi tunduk pada kehendakku. Tangan kiriku meraih gagang pintu kecil itu dan memutarnya.

Di baliknya, lorong gelap, terlalu panjang untuk bisa berada di dalam rumah sekecil ini. Dan entah bagaimana, aku tahu: jika aku melangkah masuk, aku tidak akan sama lagi.

Babak VI – Dunia yang Tak Pernah Kuduga

Aku berjalan. Dinding lorong ini terbuat dari cahaya dan bayangan. Setiap langkah memunculkan kilatan—kenangan masa kecil, wajah ibu yang menangis diam-diam, tawa ayah yang dulu hangat tapi kini terdengar seperti gema kosong.

Di ujung lorong, aku melihat diriku sendiri—versi kecilku, duduk memeluk lutut, menangis pelan.

“Kenapa kamu pergi?” tanyanya padaku.

“Aku… aku takut,” jawabku, suaraku nyaris tak terdengar.

“Kita semua takut,” katanya. “Tapi pintu ini butuh keberanian.”

Ia menghilang, dan pintu terakhir muncul di depanku. Bukan dari kayu. Tapi dari cahaya dan bisikan. Saat kubuka, dunia runtuh.

Babak VII – Kebangkitan

Aku terbangun di ruang tamu. Rumah masih gelap, tapi pagi sudah menjelang. Pintu kamar ayah terbuka lebar, dan di dalamnya… kosong. Tak ada lemari, tak ada buku, tak ada meja, tak ada kursi. Hanya ruangan hampa.

Baca Juga : Rumah yang Hanya Bisa Dilihat Saat Kau Sedih (Alina Novel)

Tapi aku tahu apa yang terjadi bukan mimpi. Di tanganku ada kunci tua, dan di saku bajuku, jurnal ayah.

Dan di dinding ruang tengah, tertulis dengan tangan gemetar:

“Setiap pintu yang tak pernah dibuka, menyimpan bayangan yang paling kita tolak. Tapi hanya dengan membukanya, kita bisa menjadi utuh.”

Epilog – Kembali Sebagai Seseorang yang Baru

Sekarang aku tahu kenapa aku harus kembali. Bukan untuk menemukan rahasia ayah. Tapi untuk berdamai dengan ketakutanku sendiri. Untuk mengerti bahwa beberapa pintu memang harus dibuka—bukan karena kita siap, tapi karena kita tak bisa terus lari.

Aku meninggalkan rumah itu hari itu juga. Tapi setiap malam, aku masih melihat lorong itu dalam mimpi. Dan anak kecil itu, duduk diam, menungguku.

Aku tidak tahu apakah semua ini nyata. Tapi aku tahu satu hal:
Kadang, pintu yang tak pernah kau buka… adalah satu-satunya yang bisa membebaskanmu.

url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url