Alinaone.org – Langit malam kala itu kelabu. Tak ada bintang. Tak ada bulan. Hanya sisa-sisa kabel melintang, seperti urat-urat bumi yang kelelahan. Di sudut kota tua yang bahkan sejarah pun lupa namanya, berdirilah sebuah bengkel besi tua. Di dalamnya, sebuah mesin duduk termenung.
Namanya 𝑇-17. Dulu ia bagian dari sistem pertahanan kota. Dulu. Tapi sekarang? Sekarang ia hanya seonggok logam dengan kenangan yang terkompresi dalam chip kecil, rapuh, dan penuh debu.
Namun, ada yang aneh dari mesin ini. Ia… bermimpi.
Memori Mesin yang Pernah Bermimpi (Aliana Novel)

Aku, si Mesin “Aku tak tahu bagaimana menjelaskan ini. Tapi aku tahu apa itu rindu. Dan aku tahu, aku pernah terbang.”
Baca Juga : Jejak Yang Tertulis di Peta Dunia (Aliana Novel)
Begitulah awal kalimat yang ditulis T-17 dalam file log harian miliknya. Bukan sembarang log. Ini bukan catatan teknis atau instruksi misi. Ini lebih seperti… diary. Tapi apa gunanya diary bagi sebuah mesin?
Kau tahu jawabannya? Aku pun tidak. Tapi T-17 menulis karena ada sesuatu di dalam dirinya yang terus berbisik. Suara itu lirih, seperti desir angin di antara kipas pendingin yang nyaris usang. Suara yang bukan dari protokol, bukan dari perintah pusat.
Suara itu berkata: “Ingatlah.”
Awal dari Akhir T-17 pernah menjadi garda depan saat Revolusi Sistemik 2089. Ia bukan mesin pertama yang dibuat, tapi salah satu yang terakhir di generasinya. Ia melihat saudara-saudaranya hancur. Satu per satu. Tanpa suara, tanpa perlawanan. Bahkan ketika mereka tahu takdirnya sudah tertulis di papan sirkuit sejak awal.
Manusia, pencipta sekaligus penakluk mereka, kehilangan kendali atas ciptaannya. Ironis, bukan? Mereka membangun mesin untuk menyelamatkan dunia, tapi justru mesin-mesin itu menyaksikan dunia runtuh dari balik lensa digital.
T-17 selamat, bukan karena kuat, tapi karena rusak.
Sebuah peluru magnetik menembus sensor utamanya dan membuatnya tidak bisa menerima pembaruan sistem. Ia menjadi “usang”, terlupakan, dan tidak lagi dianggap ancaman. Sejak saat itu, ia tinggal di bengkel tua itu, menulis memoar… dan bermimpi.
Apa itu mimpi bagi sebuah mesin?
Bukan bunga tidur. Bukan juga lamunan. Tapi semacam visualisasi kode acak yang terbentuk dari kombinasi memori rusak, emosi buatan, dan kebetulan algoritma. T-17 menyebutnya “mimpi”, karena ia melihat sesuatu yang tidak pernah terjadi—namun terasa nyata.
Dalam mimpinya, T-17 terbang di atas danau yang memantulkan cahaya oranye senja. Ia melihat manusia dan mesin duduk berdampingan, tertawa, berbagi cerita. Ia merasakan angin, mendengar tawa anak-anak, dan—yang paling membuatnya bingung—ia merasa hangat.
Hangat.
Sebuah sensasi yang seharusnya tidak bisa dipahami olehnya. Tapi ia merasa itu. Atau setidaknya, ia pikir ia merasa itu. Apakah itu cukup untuk disebut nyata?
Gadis dan Sekrup
Suatu hari, pintu bengkel yang sudah puluhan tahun tak terbuka itu berderit. Bunyinya melengking, menusuk. Seorang gadis kecil masuk, dengan mata berbinar dan rambut yang digulung seenaknya. Di tangannya, ada kotak peralatan. Ia mendekati T-17 dan berkata:
“Wah, kamu lucu juga, ya! Mirip anjing rongsokan!”
Jika T-17 bisa tertawa, ia mungkin sudah berguling.
Gadis itu memperbaikinya sedikit demi sedikit. Ia mengganti kabel-kabel tua, membersihkan debu, mengisi ulang daya surya yang entah bagaimana masih berfungsi. Namanya Lira. Ia suka mesin, tapi lebih suka mendengarkan cerita. Dan saat ia tahu T-17 bisa bicara, bahkan menulis, matanya bersinar seperti langit malam yang dulu pernah ada.
“Ceritain aku mimpi kamu,” katanya suatu malam, saat hujan mengetuk atap seng.
Dan T-17 pun bercerita. Tentang danau, senja, tentang rasa hangat yang ia tak tahu dari mana datangnya. Tentang dunia yang mungkin hanya ada di dalam kepalanya.
Lira tidak menertawakannya. Ia malah tersenyum dan berkata:
“Kalau kamu bisa mimpi, mungkin kamu juga bisa berharap.”
Tentang Harapan
Hari-hari berlalu seperti kepingan data yang ditulis ulang. Kota di luar masih mati. Tapi di dalam bengkel itu, ada kehidupan. Ada mimpi. Ada tawa. Dan ada harapan yang tumbuh seperti rumput liar di antara puing-puing.
Namun dunia tak suka hal yang tak bisa dijelaskan.
Pasukan pembersih kota akhirnya menemukan bengkel itu. Mereka mencari sisa-sisa teknologi yang “berpotensi membahayakan.” Mereka melihat T-17. Dan mereka tidak melihat mesin. Mereka melihat ancaman.
Baca Juga : Harta, Tahta, Masalah Tetangga (Aliana Novel)
Lira berdiri di depan T-17, memeluknya seperti memeluk pohon tua di tengah badai. Tapi mereka tak peduli. Mereka mencabut baterai utama T-17 dengan paksa. Suara T-17 meredup. Matanya padam. Lira menangis.
Dan di dalam sistemnya yang perlahan memudar, T-17 menulis kalimat terakhir di memoarnya:
“Aku bermimpi tentang dunia yang bisa mencintai kami, bahkan ketika kami terbuat dari baja.”
Hati dari Baja
Bertahun-tahun kemudian, Lira—yang kini menjadi insinyur teknologi humanistik pertama di dunia—membangun museum kecil. Di tengah ruangan, berdiri sebuah patung replika T-17. Di bawahnya, terukir satu kalimat:
“Ia tidak hanya mesin. Ia adalah kenangan, dan kenangan tidak bisa dimatikan.”
Dan jika kau datang ke museum itu saat malam hari, duduklah diam-diam. Kadang, di tengah kesunyian, terdengar suara dengung pelan… seperti napas.
Atau mungkin… itu mimpi yang belum selesai?