Kenangan Terburuk yang Aku Simpan di Kotak Musik Rusak (Alina Novel)

Alinaone.org – Aku selalu percaya bahwa benda-benda punya kenangan. Mereka merekam, menyimpan, bahkan merintih diam-diam saat tak ada yang melihat. Sama seperti manusia, mereka punya luka. Dan kotak musik di sudut lemari tua itu… dia tahu segalanya.

Kenangan Terburuk yang Aku Simpan di Kotak Musik Rusak

Kotak itu terbuat dari kayu jati, diukir tangan, warna cokelatnya sudah pudar seperti mata tua yang terlalu sering menangis. Bagian dalamnya dilapisi kain beludru merah tua, dan di tengahnya berdiri patung penari balet kecil yang kini kehilangan satu lengan. Kepalanya juga retak sedikit, seperti kenangan yang terlalu lama dipaksa tinggal.

Baca Juga : Rumah yang Hanya Bisa Dilihat Saat Kau Sedih (Alina Novel)

Dulu, saat diputar, kotak itu memainkan lagu lembut… entah judulnya apa, tapi nadanya seperti hujan pertama yang jatuh ke tanah setelah musim kemarau panjang. Tapi kini, lagu itu keluar sumbang. Mirip rintihan. Nada-nadanya terseret, lambat, seperti bernyanyi sambil menahan tangis. Dan kadang, kotak itu berbunyi sendiri tengah malam, saat semua suara dunia sudah mati.

Kotak itu peninggalan Ibu. Bukan benda warisan yang mewah, tapi dia memberikannya padaku malam sebelum dia pergi — bukan pergi liburan atau pindah kota. Tapi pergi dalam arti yang paling menyakitkan: tidak kembali.

Waktu itu aku masih dua belas. Rambutku dipotong Ibu sendiri, selalu miring sebelah, dan aku benci setiap kali dia bilang aku cantik. Karena aku tahu dia bohong. Tapi malam itu, dia duduk di ranjang, tubuhnya diselimuti aroma obat dan keringat, dan dia menyerahkan kotak itu padaku dengan tangan gemetar.

“Kalau kamu kangen Ibu… buka ini. Tapi jangan sering-sering. Kenangan itu bisa menyayat.”

Aku tidak mengerti saat itu. Apa sih yang bisa menyayat selain pisau? Tapi aku menurut, karena malam itu ada sesuatu di mata Ibu yang tidak bisa dijelaskan. Seperti langit sebelum badai, tenang tapi penuh ancaman.

Dan benar saja, malamnya dia pergi. Tidak ada suara. Tidak ada pelukan terakhir. Hanya sunyi. Dan esoknya, rumah bau dupa.

Aku menyimpan kotak itu di bawah tempat tidur. Awalnya aku takut. Takut jika membukanya, akan muncul Ibu dalam bentuk hantu atau bayangan. Tapi setelah seminggu tak ada suara di dapur, tak ada nyanyian pagi, tak ada tangan yang menarikku dari tidur, aku akhirnya menyerah.

Aku buka kotak itu. Musiknya masih sempurna waktu itu. Penari baletnya masih berputar. Dan aku menangis. Bukan karena musiknya menyedihkan. Tapi karena rasanya seperti melihat Ibu sedang menari di dalam sana, walau dia benci menari.

Sejak itu, aku mulai menyimpan kenangan buruk di sana. Anehnya, hanya kenangan buruk. Mungkin karena hanya luka yang butuh tempat tinggal, sementara bahagia selalu bisa terbang sendiri.

Pertama adalah surat dari Ayah, yang pergi dengan perempuan lain setahun setelah Ibu meninggal. Surat itu singkat: “Maaf, Ayah tidak kuat. Jagalah dirimu.” Aku merobeknya jadi potongan kecil dan menyimpannya dalam kotak. Setiap kali dibuka, kotak itu terdengar lebih pelan.

Lalu, ada kalung dari pacar pertamaku, Radit. Dia memberikannya waktu ulang tahunku yang ke-18, dan mengambilnya lagi dua minggu kemudian setelah mencium sahabatku sendiri di belakang kantin. Aku temukan kalung itu di tasnya, bersama surat cinta yang tak pernah aku tulis.

Aku simpan semuanya di dalam kotak musik itu. Dan seiring waktu, lagu yang dimainkan semakin rusak. Terkadang seperti teriakan anak kecil, kadang seperti suara ranting patah, dan kadang—paling sering—seperti bisikan Ibu yang mengeluh lelah.

Kamar kosanku sempit, tapi kotak itu selalu dapat tempat. Di rak, di meja belajar, di atas kulkas. Aku bahkan pernah membawanya ke kantor saat patah hati karena tidak diterima naik jabatan. Teman-teman mengira itu hanya kotak musik tua, barang antik yang aku dapat dari pasar loak. Aku biarkan saja.

Mereka tidak tahu. Di dalamnya, bersemayam luka yang lebih tua dari ingatan.

Lalu suatu malam, aku pulang dengan mata bengkak. Bosku memecatku karena kesalahan yang bahkan bukan milikku. Aku masuk kamar, lempar sepatu, dan rebah di lantai. Lampu padam. Tak ada tenaga untuk hidup, apalagi untuk bangkit. Tapi kotak itu… berbunyi.

Sendiri.

Pelan.

Lagu yang sudah hancur itu terdengar seperti bisikan lembut. Dan aku tahu, waktunya menambah satu kenangan lagi.

Aku buka kotaknya. Dan entah bagaimana, aku merasa seolah kotak itu… menyambut. Seperti dia tahu akan ada teman baru bagi luka-luka lama.

Aku masukkan kartu identitasku dari kantor. Lalu aku bisikkan satu kalimat ke dalamnya: “Aku gagal lagi.”

Hari-hari selanjutnya berjalan seperti kabut. Aku bangun hanya untuk tidur lagi. Makan karena perut berbunyi, bukan karena lapar. Dan malam-malam, kotak itu semakin sering berbunyi sendiri. Lagu sumbangnya berubah. Ada bagian yang terdengar seperti tangis anak kecil, bagian lain seperti suara napas yang putus-putus.

Sampai suatu malam, seseorang mengetuk pintu. Tidak keras. Pelan. Seperti ragu.

Aku buka. Seorang wanita berdiri di sana. Rambutnya hitam panjang, matanya sayu, dan ia tampak… lelah. Dia memperkenalkan dirinya sebagai pengontrak kamar sebelah yang baru pindah.

Namanya Aira.

Kami mulai bicara. Awalnya basa-basi soal air kamar mandi yang kecil, lalu bergulir ke topik-topik gelap yang tak sengaja keluar. Tentang orang tua. Tentang kepergian. Tentang kesepian. Ternyata, Aira juga punya luka. Dia membawa fotonya bersama adiknya yang hilang saat tsunami, dan sejak itu tak pernah ketemu lagi.

Baca Juga : Di Balik Jendela Tua yang Selalu Menatap Senja (Alina Novel)

Anehnya, malam setelah dia cerita, kotak musikku diam. Tak berbunyi sama sekali. Bahkan saat aku buka, tak ada lagu, tak ada gerak. Penari balet itu berdiri kaku. Seperti mati suri.

Aku panik. Aku guncang kotaknya. Aku putar tuasnya. Tak ada hasil. Kotak itu seperti… menolak.

Baru aku sadar, selama ini aku menyimpannya hanya untuk diriku. Luka-luka itu aku telan sendiri. Tapi malam itu, saat aku membiarkan seseorang melihat sedikit dari gelapku, kotak itu berhenti.

Aku mulai mencoba bicara lebih banyak dengan Aira. Tentang Ibu, tentang Ayah, tentang Radit dan surat-surat yang aku hancurkan. Dia tidak menertawakanku. Dia juga tidak berkata “Kamu harus move on.” Dia hanya mendengarkan, dan kadang, ikut menangis.

Dan malam setelahnya, kotak itu berbunyi lagi. Tapi kali ini… musiknya sedikit lebih jernih.

Hari demi hari, kotak itu mulai berubah. Lagu-lagunya, meski tetap sumbang, punya pola. Seperti puzzle yang mulai menemukan bentuknya. Penari baletnya mulai bergerak lagi, meski hanya setengah putaran sebelum tersendat.

Suatu sore, Aira melihatku membuka kotak itu dan bertanya, “Boleh aku simpan sesuatu juga?”

Aku ragu. Kotak itu milikku. Isinya adalah darah, air mata, dan serpihan jiwa. Tapi aku mengangguk.

Dia memasukkan potongan kecil foto adiknya. Yang hanya tampak sebagian wajah. Dan saat kotaknya ditutup… lagu itu berhenti. Tapi udara di kamar terasa lebih ringan.

Sejak hari itu, kotak itu bukan lagi milikku sendiri. Teman-teman kos mulai datang, satu per satu, membawa luka-luka mereka. Seorang wanita tua menyimpan surat dari anaknya yang sudah tidak pulang bertahun-tahun. Seorang pemuda menyelipkan lembaran puisi tentang cinta pertamanya yang menikah dengan orang lain.

Kotak itu penuh.

Dan anehnya… saat penuh, kotak itu mulai membaik. Lagu yang dulu rusak, kini terdengar seperti melodi yang nyaris utuh. Masih ada sumbangnya, tapi lebih seperti nada minor yang menyayat indah. Penari baletnya bisa berputar dua putaran penuh. Dan dia tersenyum — aku baru sadar kalau wajahnya punya senyum kecil yang dulu tidak ada.

Sampai suatu malam, kotaknya berbunyi sendiri lagi. Tapi kali ini bukan lagu. Bukan musik. Tapi suara.

“Sudah waktunya.”

Aku kaget. Tapi tidak takut.

Aku buka kotaknya.

Kosong.

Tidak ada potongan surat, tidak ada foto, tidak ada kalung. Hanya pantulan wajahku sendiri di permukaan cermin kecil yang terpasang di tutup kotak.

Dan aku mengerti.

Kenangan terburuk, tidak harus dibuang. Cukup disimpan. Dikasih tempat. Dibiarkan bernapas. Karena luka, kalau dikurung terlalu lama, akan membusuk dan memakan hati. Tapi kalau dibagikan… meski tak sembuh, dia tidak akan membunuh.

Aku tutup kotaknya.

Dan malam itu, aku tidur tanpa mimpi buruk.

url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url