Alinaone.org – Ada satu kamar di ujung lorong rumah tua peninggalan kakekku yang selalu tertutup rapat. Tak ada yang pernah masuk sejak kami pindah ke sana sepuluh tahun lalu. Ibuku bilang itu kamar kosong, tak perlu diusik, apalagi dibuka. Tapi, dari kecil aku tahu, itu bukan sekadar kamar kosong.
Kamar Kosong Tempat Aku Menyembunyikan Semua Versi Diriku

Aku sering dengar suara. Bukan suara tikus atau angin malam yang bersiul lewat celah jendela. Tapi suara… aku.
Baca Juga : Surat yang Ditulis dengan Tinta Air Mata (Alina Novel)
Aku pernah dengar diriku menangis di dalam sana—padahal saat itu aku sedang membaca buku di ruang tamu. Aku pernah dengar tawa yang khas, tawa yang selalu aku sembunyikan dari dunia luar karena terdengar terlalu nyaring, terlalu bahagia. Aku bahkan pernah mendengar suara marahku, memaki dunia dan segalanya, padahal aku sedang diam membisu di luar.
Kamar itu seperti cermin retak yang menelan pantulan-pantulan diriku, menyimpannya dalam gelap. Aku tidak pernah berani mendekat. Tapi entah kenapa, sejak malam ulang tahunku yang ke-24, aku merasa dipanggil.
Ada sesuatu di dalam kamar itu yang terus-menerus memanggil namaku. Tidak dengan suara, tapi dengan rasa. Rasa yang susah dijelaskan—seperti bau nostalgia yang datang tiba-tiba, atau rasa kehilangan yang mengendap di dada meski tak tahu apa yang hilang.
Malam itu aku berjalan pelan ke lorong. Rumah sudah sepi. Ibuku tertidur di kamar depan, dengkuran lembutnya mengalun seperti lagu nina bobo yang rusak. Aku menahan napas di depan pintu kamar kosong itu. Ada debu di gagangnya. Dan juga goresan-goresan halus, seolah seseorang—atau sesuatu—pernah mencoba keluar.
Tanganku bergetar saat memutar kenop pintu. Dentingan logamnya terasa dingin, seperti tangan seseorang yang sudah lama tak disentuh.
Pintu terbuka.
Dan gelap menyambutku.
Bukan gelap biasa. Ini gelap yang penuh. Gelap yang… hidup. Aku melangkah masuk. Satu kaki. Lalu yang lain. Lantai kayu di bawahku berderit, seperti sedang berbisik. Udara di dalam kamar itu berbeda. Lebih berat. Lebih… padat. Seperti sedang masuk ke perut kenangan yang menolak dicerna.
Di sana, aku melihat mereka. Versi-versi diriku.
Ada aku yang masih kecil, menangis di pojok ruangan dengan mata bengkak, tangan menggenggam boneka yang sudah tak berbentuk. Ada aku yang remaja, duduk membelakangi jendela, menulis puisi tentang kesepian sambil sesekali menghapus air mata. Ada aku yang dewasa, berdiri tegak tapi sorot matanya kosong—seperti tubuh tanpa isi.
Semuanya diam. Tapi aku tahu mereka melihatku.
Dan mereka tahu aku melihat mereka.
Rasanya seperti bercermin tapi bukan untuk memperbaiki rambut atau merapikan baju. Ini bercermin yang membuatmu melihat luka-luka yang tak bisa disembuhkan oleh waktu, atau tawa-tawa palsu yang selama ini kau gunakan untuk bertahan.
Aku ingin bertanya. Tapi suara di tenggorokanku tercekat. Bibirku hanya bergerak tanpa bunyi.
Tiba-tiba, salah satu dari mereka—aku yang memakai baju hitam dengan mata merah—mendekat. Dia tidak berjalan. Dia seperti mengambang. Nafasku tertahan.
“Kau datang juga akhirnya,” bisiknya.
Suaranya… suaraku. Tapi lebih berat. Lebih jujur. Lebih sakit.
“Kami semua menunggumu,” lanjutnya. “Kau tinggalkan kami di sini. Kau buang kami, kau kubur. Tapi kami tidak pernah mati.”
Aku mundur selangkah. Tapi pintu di belakangku sudah hilang. Tidak ada jalan keluar.
Aku ingin marah. Tapi kepada siapa?
Bukankah mereka bagian dariku?
“Kau takut melihat kami,” kata versi diriku yang lain. Yang tertua. Wajahnya penuh kerutan, rambutnya abu-abu. “Kau sibuk menjadi versi yang dunia inginkan. Kau hilangkan kami satu per satu. Tapi itu tak pernah cukup, bukan?”
Baca Juga : Di Antara Dinding yang Menguping Rahasia Kita (Alina Novel)
Aku hanya bisa mengangguk. Jujur, aku tidak tahu harus bicara apa. Ruangan itu seperti ruang pengakuan. Tapi tanpa pendeta. Hanya aku dan semua bayanganku sendiri.
“Lalu… aku harus bagaimana?” tanyaku akhirnya. Suaraku pelan. Retak.
Versi kecilku berdiri. Ia menggenggam tanganku.
“Kami tidak ingin kau melupakan kami. Kami cuma ingin dikenang. Diakui. Diterima.”
Aku melihat wajah-wajah itu. Luka-luka itu. Tawa-tawa itu. Dan aku sadar… mereka semua aku. Bukan musuh. Bukan beban. Tapi sejarah. Bagian dari puzzle yang tak pernah selesai karena terlalu sering kusembunyikan.
Tangisku pecah malam itu. Tapi bukan tangis lemah. Ini tangis penerimaan. Tangis seseorang yang akhirnya bersalaman dengan masa lalunya sendiri.
Saat aku membuka mata lagi, aku sudah di depan pintu kamar itu. Berdiri. Nafas memburu. Tangan masih gemetar.
Pintunya sudah tertutup kembali.
Tapi kali ini, aku tidak takut lagi.
Sejak malam itu, kamar itu tidak lagi mengganggu. Tidak ada suara. Tidak ada bisikan. Tapi sesekali, saat aku duduk sendiri di teras rumah, aku tersenyum kecil. Karena aku tahu, mereka masih di sana. Dan sekarang, mereka tenang. Karena aku tidak lagi menyangkal keberadaan mereka.
Kamar itu tetap kosong. Tapi bukan kosong yang menakutkan.
Kosong seperti langit malam tanpa bintang—terbuka untuk diisi, tapi tetap indah meski gelap.
Kosong seperti halaman pertama buku harian—masih kosong, tapi penuh kemungkinan.
Kosong seperti hati yang siap mencintai lagi, meski pernah hancur berkali-kali.
Kini, aku hidup dengan semua versiku. Tak lagi menghapus mereka. Tak lagi menyembunyikan mereka.
Karena kadang, untuk bisa berjalan maju, kau harus kembali dan memeluk semua versi dirimu—yang pernah jatuh, pernah marah, pernah lelah, pernah bahagia, dan pernah menyerah.
Mereka bukan musuh. Mereka adalah saksi.
Dan kamar itu… akan selalu jadi tempat mereka tinggal. Tempat aku bisa pulang. Tempat aku belajar bahwa menjadi utuh bukan soal selalu kuat, tapi soal menerima bahwa aku pernah hancur berkali-kali… dan tetap bertahan.