Alinaone.org – Jejak Yang Tertulis di Peta Dunia adalah sebuah kisah komedi yang mengisahkan petualangan absurd dua sahabat, Dika dan Andri, yang mencoba mencari tujuan hidup dengan mengikuti petunjuk aneh yang ditemukan di sebuah peta tua.
Dalam perjalanan mereka, berbagai kejadian lucu, kekonyolan, dan kebingungan terus terjadi, sampai mereka menyadari bahwa tujuan mereka bukanlah tempat yang harus ditemukan, melainkan cara mereka menikmati perjalanan itu sendiri.
Jejak Yang Tertulis di Peta Dunia (Aliana Novel)

Bab 1: Peta yang Aneh
Dika dan Andri duduk di kafe, memandangi peta tua yang ditemukan Dika di pasar loak. “Mungkin kita bisa mulai petualangan, Bro,” ujar Dika sambil menunjuk ke titik yang tertulis di peta, yang konon katanya adalah tempat di mana segala misteri dunia terkumpul. Andri menatap peta dengan serius, mencoba mencari arti simbol aneh yang tergambar di sana.
Baca Juga : Neurochaos: Simfoni Pikiran Terakhir (Aliana Novel)
“Kenapa ada gambar anjing dan donat di sini?” tanya Andri bingung. Dika mengangkat bahu, “Entahlah, Bro. Mungkin itu petunjuk. Ayo, kita ikuti saja.”
Mereka pun memutuskan untuk mengikuti peta yang penuh dengan tanda-tanda tak masuk akal. Mereka berdua percaya pada hal yang tak masuk akal—yang kadang, justru membuat hidup mereka lebih menghibur.
Bab 2: Perjalanan Dimulai
Petualangan dimulai dengan semangat yang tak terbendung. Keduanya berjalan kaki, melewati gang-gang kecil, pasar, bahkan rumah-rumah yang tampak seperti tempat tinggal para penemu teori konspirasi. Mereka sampai di sebuah taman, di mana sebuah patung aneh dengan tulisan “Selamat Datang di Tempat Aneh” menyambut mereka.
“Ini petunjuk pertama, Bro,” kata Dika sambil menunjuk patung itu. Andri mencatatnya di ponsel, meskipun dia juga merasa sedikit aneh.
Di taman itu, mereka bertemu dengan seorang pria tua yang sedang memberi makan bebek. Pria itu tersenyum lebar dan berkata, “Tujuan hidup itu seperti bebek-bebek ini, nak. Mereka tahu harus ke mana, tapi kadang tersesat di jalan.”
“Eh, bener juga ya?” jawab Dika, mengangguk-angguk, sementara Andri hanya memutar mata.
Bab 3: Peta yang Berputar Arah
Di tengah perjalanan, peta yang mereka bawa malah menunjukkan arah yang berputar-putar tanpa jelas. Kadang ke kiri, kadang ke kanan, kadang malah balik ke tempat semula. Mereka kebingungan, dan semakin bingung karena mereka juga sudah mulai kehilangan arah.
“Tunggu! Ini peta atau papan permainan sih?” keluh Andri, melirik Dika yang tampaknya juga mulai bingung. “Apa kita harus mencari tahu arti simbol-simbol aneh ini, atau cukup ikut petunjuk yang ada?” Dika mendengus, “Bro, aku rasa ini bukan masalah peta. Ini masalah kita yang terlalu serius mencari sesuatu yang nggak jelas.”
Mereka bertemu lagi dengan pria tua di taman, yang kali ini berkata, “Kadang tujuan itu datang sendiri, nak. Jangan terlalu dipikirkan. Lihatlah, bebek-bebek itu.”
Andri menatap bebek itu dan berkata, “Iya, Bro. Tapi bebek itu nggak punya peta. Kita kan manusia, masa nggak punya tujuan?”
Bab 4: Sudah Cukup Konyol
Setelah berjam-jam berjalan tanpa arah yang jelas, Dika dan Andri berhenti sejenak untuk mengevaluasi perjalanan mereka.
“Apakah kita bodoh atau dunia yang terlalu membingungkan?” tanya Andri sambil duduk di bangku taman.
Dika menghela napas. “Kita nggak bodoh, Bro. Kita cuma… terlalu berharap bahwa segala sesuatu punya makna.”
Mereka berdua tertawa. Sesaat mereka merasa lega, karena menyadari bahwa pencarian mereka mungkin hanya tentang menghabiskan waktu bersama, tertawa di tengah kekonyolan, dan belajar bahwa hidup ini tidak selalu harus dipenuhi dengan jawaban yang jelas.
Bab 5: Tujuan yang Terabaikan
Dengan hati yang lebih ringan, Dika dan Andri kembali berjalan tanpa peta, melangkah ke arah yang mereka rasa tepat, meskipun tidak jelas. Mereka berhenti di sebuah warung nasi goreng, menikmati makan siang.
Tiba-tiba, seorang pria muda mendekat, membawa peta yang sangat mirip dengan milik mereka. “Eh, aku mencari tempat ini! Apakah ini tempat yang katanya ada harta karun?” tanya pria itu.
Dika dan Andri saling pandang, kemudian tertawa keras. “Bro, peta itu cuma kertas kosong. Jangan terlalu serius,” ujar Dika sambil tertawa. Pria itu bingung, tapi akhirnya ikut tertawa juga. Dan mungkin itu adalah pelajaran terbesar dalam perjalanan mereka: kadang tujuan bukanlah yang paling penting—yang terpenting adalah perjalanan itu sendiri.
Bab 6: Jejak yang Tertulis di Peta Dunia
Mereka akhirnya sampai di rumah masing-masing, setelah hari yang penuh dengan tawa, kebingungan, dan kejadian-kejadian yang tidak akan pernah mereka lupakan. Di meja Dika, peta itu tergeletak begitu saja, tidak lagi penting. Namun, di dalam hatinya, dia tahu—petualangan mereka bukan tentang menemukan tempat tertentu, melainkan tentang menikmati jejak yang mereka tinggalkan sepanjang jalan.
“Jadi, kita cari peta yang lebih baru besok?” tanya Andri, mengirim pesan.
Dika membalas, “Kenapa enggak? Tapi kali ini, kita ikuti jalan yang ada di depan kita aja.”
Baca Juga : Ketika Rindu Berbicara dalam Diam (Aliana Novel)
Mereka berdua tertawa. Tidak ada tujuan jelas. Tapi mereka tahu, di dunia ini, kadang jejak yang tertulis di peta dunia adalah tentang keberanian untuk berjalan tanpa tahu ke mana.
Bab 7: Kembali ke Titik Nol
Keesokan harinya, Dika dan Andri duduk di kafe yang sama, memandangi peta tua yang sudah semakin lusuh. Kali ini, mereka tidak merasa tergesa-gesa mencari makna. Mereka hanya duduk, menikmati secangkir kopi panas, dan membiarkan waktu berlalu.
“Kita pernah bilang, kalau perjalanan ini nggak jelas, kan?” kata Dika sambil mengaduk kopi. Andri mengangguk, mata menatap peta itu.
“Tapi aku rasa, malah jadi jelas sekarang. Peta ini nggak penting. Yang penting itu kita, Bro. Bisa ketawa bareng, bisa jalan bareng, tanpa harus tahu pasti ke mana.”
Dika mengangguk, merasa lega. Terkadang, menemukan jawaban itu bukan tentang menemukan sesuatu yang besar dan luar biasa, melainkan menemukan kedamaian dalam kebersamaan. Peta yang tadinya mereka anggap sebagai panduan, kini malah jadi simbol kebebasan.
Bab 8: Petualangan Baru, Tanpa Peta
Setelah beberapa hari merenung, Dika dan Andri memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mereka, tapi kali ini tanpa peta. Mereka berjalan dengan langkah ringan, menikmati momen yang ada, tanpa khawatir tentang arah.
Mereka melewati banyak tempat baru, bertemu orang-orang yang aneh dan lucu. Terkadang mereka hanya berhenti di warung makan, ngobrol dengan pemiliknya, atau bertanya tentang cerita yang ada di sekitar tempat itu. Tanpa tujuan pasti, mereka mulai menemukan banyak hal yang sebelumnya tidak pernah mereka perhatikan.
“Lihat, Bro,” kata Dika sambil menunjuk ke arah dua anak kecil yang sedang bermain di taman. “Kadang tujuan kita itu simpel banget, cuma ingin bahagia. Cuma itu.”
Andri tersenyum. “Iya, Bro. Kadang kita terlalu pusing cari tujuan besar, sampai lupa kalau kebahagiaan itu bisa datang dari hal-hal kecil.”
Bab 9: Kesimpulan yang Tertunda
Pada malam terakhir mereka berjalan tanpa tujuan, Dika dan Andri berhenti di sebuah jembatan kecil. Langit malam cerah, dan lampu-lampu kota berkilauan di kejauhan. Mereka duduk berdua, menikmati suasana yang tenang.
“Kita sudah jauh banget, Bro,” kata Andri, sambil menyandarkan punggungnya ke pagar jembatan. “Tapi, kalau dipikir-pikir, nggak ada hal besar yang terjadi. Hanya banyak momen kecil yang bikin kita senang.”
Dika mengangguk. “Mungkin itu yang kita cari, Bro. Bukan tempat, bukan tujuan besar, tapi momen-momen yang membentuk kita jadi lebih baik.”
Andri tertawa pelan. “Kamu benar, Bro. Peta itu enggak ada artinya. Yang penting, kita bisa nikmatin perjalanan ini.”
Bab 10: Kembali ke Rumah, Tapi Berbeda
Setibanya di rumah masing-masing, Dika dan Andri menyadari bahwa mereka sudah berubah. Meskipun perjalanan itu tidak membawa mereka ke tempat yang spesial, tapi mereka merasa lebih ringan, lebih memahami makna kehidupan yang sederhana.
“Ayo, Bro,” kata Dika lewat pesan singkat, “kalau besok kita jalan lagi, nggak usah bawa peta. Gimana?”
Andri membalas, “Setuju! Kali ini, kita nggak butuh peta, cuma butuh kaki dan senyuman.”
Baca Juga : Horizon Delta: Peradaban yang Hilang (Aliana Novel)
Keduanya tertawa. Perjalanan mereka memang tidak pernah punya tujuan yang jelas. Namun, justru itu yang membuatnya menjadi petualangan yang berharga.
Epilog
Petualangan Dika dan Andri tidak berhenti di sana. Meskipun mereka sudah kembali ke rutinitas sehari-hari, namun pengalaman yang mereka dapatkan—pengalaman tentang menikmati hidup tanpa beban—terus mereka bawa.
Peta yang dulu dianggap sangat penting, kini tergeletak di sudut meja, tak lagi menjadi alat pencarian. Sebaliknya, peta itu menjadi kenangan tentang sebuah perjalanan tanpa tujuan yang penuh dengan tawa, kebingungan, dan pelajaran hidup yang sesungguhnya.
Dika menatap peta itu sesaat sebelum menyimpannya. “Kita mungkin sudah berhenti mencari tempat, Bro,” gumamnya, “tapi kita masih bisa terus berjalan.”
Dengan langkah ringan, tanpa peta dan tanpa rencana, Dika dan Andri tahu bahwa perjalanan mereka masih akan terus berlanjut—dengan cara yang lebih santai, lebih bebas, dan lebih penuh tawa.