Alinaone.org – Hari itu, di sebuah desa kecil bernama Langit Timur, semua orang sibuk seperti biasanya. Desa ini terkenal karena satu hal: keabsurdan warganya. Bayangkan, kalau desa-desa lain punya kepala desa yang berwibawa, di Langit Timur, kepala desanya, Pak Darwis, malah suka menyanyi dangdut pakai pengeras suara setiap pagi.

Pagi itu, seperti biasa, suara Pak Darwis berkumandang:
“Cinta itu seperti rem blong, tau-tau nabrak hati orang!”
Warga sudah biasa, tapi tidak dengan Heri, seorang pemuda yang baru saja kembali dari kota setelah lima tahun kuliah di Jakarta. Ia menatap pengeras suara di balai desa dengan ekspresi bingung. “Ini desa apa, sirkus?” gumamnya.
Baca Juga : Cinta di Balik Utang Warteg (Aliana Novel)
Heri baru saja turun dari angkot butut yang bannya lebih miring daripada hubungan cinta sebelah pihak. Ia menarik kopernya melewati jalan berbatu yang penuh dengan ayam berkeliaran. Ayam-ayam ini, entah kenapa, terlihat lebih galak dari biasanya. Satu ayam bahkan seperti mengikutinya dengan tatapan penuh dendam. Heri mempercepat langkah. “Mungkin ini ayam mantan reinkarnasi,” pikirnya, setengah bercanda.
Sesampainya di rumah, ibunya, Bu Sarmi, langsung menyambut dengan pelukan erat.
“Heri! Anak Ibu pulang juga! Tuh, lihat, jadi lebih kurusan, ya?”
“Bu, ini bukan kurusan. Ini efek kost mahal,” jawab Heri, setengah ngeluh.
Ayahnya, Pak Darto, muncul dari dapur sambil membawa wajan yang masih mengepulkan asap. “Nak, kamu nggak kangen sama masakan Bapak? Nih, Bapak bikin spesial, nasi goreng kecap.”
Heri melirik nasi goreng yang kelihatan lebih seperti campuran nasi, kecap, dan kehancuran rasa percaya diri. Tapi, sebagai anak yang tahu diri, ia mengangguk sambil tersenyum kaku. “Tentu saja, Pak. Nasi goreng buatan Bapak selalu… otentik.”
Desa Langit Timur memang penuh warna, tapi satu orang yang paling menyita perhatian Heri adalah Siti. Dia adalah teman masa kecil Heri, yang kini bekerja sebagai penjaga warung kelontong. Siti terkenal bukan karena kecantikannya, tapi karena suaranya yang lebih lantang daripada speaker masjid. Kalau Siti bicara, orang di sebelah desa juga bisa dengar.
Hari itu, Heri mampir ke warung Siti untuk membeli kopi sachet.
“Siti! Lama nggak ketemu!” sapa Heri dengan senyum lebar.
Siti menoleh, tapi alih-alih menjawab, dia langsung nyerocos ke arah pembeli lain. “Pak Jono, utang sabun cuci piring minggu lalu belum bayar! Jangan pura-pura nggak dengar ya!”
Heri tertawa kecil. “Kamu nggak berubah, Sit. Tetap aja kayak toa hidup.”
Siti mendelik, tapi lalu tertawa. “Heri! Wah, ini pasti kamu ya, yang dulu mukanya kayak kue apem gagal? Udah agak gantengan sih, tapi dikit doang.”
Obrolan mereka mengalir begitu saja, sampai akhirnya Siti berkata, “Eh, Her, kamu ikut lomba panjat pinang besok, nggak?”
“Lomba panjat pinang? Kayak yang di acara 17-an itu?”
“Iya, tapi di sini kita bikin lebih seru. Pinangnya dilumuri minyak jelantah, terus di atasnya hadiahnya… rahasia.” Siti tersenyum misterius, membuat Heri penasaran.
Keesokan harinya, lapangan desa sudah ramai. Semua orang berkumpul di bawah pohon pinang yang menjulang tinggi. Minyak jelantah yang dilumuri di batang pohon membuatnya bersinar seperti emas palsu di siang hari. Pak Darwis memimpin acara dengan megafon yang entah kenapa suaranya lebih cempreng dari biasanya.
“Baiklah, para peserta! Ingat, panjat pinang ini bukan sekadar lomba, ini lambang perjuangan hidup! Yang jatuh, bangkit lagi! Yang terpeleset, pegang lebih erat!”
Heri, yang sudah mendaftar dengan sedikit paksaan dari Siti, hanya bisa berdiri canggung di barisan peserta. Di sampingnya, ada Pak Jono, seorang petani tua yang, entah kenapa, ikut mendaftar juga.
“Pak Jono, yakin mau ikut?” tanya Heri.
Pak Jono mengangguk penuh semangat. “Hidup ini soal tantangan, Heri! Lagian, siapa tahu hadiahnya kulkas baru. Kulkas saya udah kayak oven.”
Saat lomba dimulai, kekacauan langsung terjadi. Satu per satu peserta mencoba memanjat, tapi langsung terpeleset dan jatuh seperti alpukat busuk. Heri mencoba, tapi baru naik beberapa meter, ia kehilangan pegangan dan jatuh tepat ke tumpukan jerami.
Pak Jono, dengan taktik yang tidak terduga, malah membawa sekop dan mencoba menggali tanah di sekitar pohon.
“Pak Jono, itu pohon, bukan harta karun!” teriak Pak Darwis dari megafon.
Di tengah semua kekacauan itu, Siti yang sedang menonton tidak berhenti tertawa. Heri yang melihatnya dari jauh hanya bisa menggelengkan kepala. “Orang-orang di sini memang nggak ada obat,” pikirnya. Tapi anehnya, ia merasa senang.
Setelah beberapa jam berlalu dan tidak ada yang berhasil mencapai puncak, Pak Darwis akhirnya mengumumkan bahwa hadiah di atas pohon adalah tiket liburan ke Bali.
Semua peserta langsung meratap. “Ya Tuhan, kenapa nggak dari tadi bilang! Pasti saya lebih semangat!” keluh Pak Jono, yang sekarang duduk lemas di bawah pohon.
Malam harinya, Heri duduk di depan rumah sambil menikmati angin malam. Desa ini memang absurd, tapi juga penuh kehangatan. Di tengah semua kekacauan, ada rasa kebersamaan yang tidak ia temukan di kota.
Siti tiba-tiba muncul, membawa dua gelas teh hangat. “Heri, kamu tahu nggak, walau kamu sering ngeluh soal desa ini, sebenarnya kamu kangen, kan?”
Heri tersenyum kecil. “Iya, sih. Desa ini… aneh, tapi ngangenin.”
Mereka tertawa bersama, di bawah panji langit Timur yang dipenuhi bintang. Untuk pertama kalinya, Heri merasa, mungkin dia memang milik desa ini. Dengan segala keabsurdan dan kekonyolannya.