Alinaone.org – Di sebuah desa yang seperti dilukis dengan kuas nostalgia, berdiri sebuah rumah tua dengan cat yang mulai mengelupas. Tak ada yang istimewa dari rumah itu, kecuali satu hal—sebuah jendela. Jendela kayu dengan bingkai kehijauan, berderit pelan setiap kali angin sore menyapa. Dari luar, jendela itu tampak biasa. Tapi dari dalam… ah, dari dalam, jendela itu menyimpan sebuah dunia yang tak banyak orang tahu.
Di Balik Jendela Tua yang Selalu Menatap Senja

Setiap senja, jendela itu terbuka perlahan. Seakan-akan ia punya nyawa, seperti sedang menghela napas panjang sebelum menghadapi malam. Di balik jendela itu duduk seorang perempuan tua—Namanya Laras. Rambutnya telah putih sepenuhnya, tapi sorot matanya masih menyala seperti api kecil yang menolak padam. Laras bukan perempuan biasa. Ia menyimpan kenangan yang tak pernah mati, terkurung di balik kaca jendela itu, hidup di antara cahaya jingga dan bayangan senja.
Baca Juga : Harta, Tahta, Masalah Tetangga (Aliana Novel)
Setiap hari, tanpa absen, Laras duduk di kursi goyang tuanya. Tangan keriputnya memeluk selendang batik yang mulai pudar warnanya, sementara matanya memandangi langit barat. Seakan menanti sesuatu yang tak pernah datang. Atau mungkin… seseorang.
“Senja ini lebih merah dari biasanya,” gumamnya suatu hari, suaranya lirih seperti bisikan dedaunan jatuh. “Apa kau akan datang hari ini, Kanda?”
Tak ada jawaban, hanya desiran angin yang menyusup masuk, menggerakkan tirai tipis seperti hantu yang lewat. Tapi Laras tersenyum. Senyuman yang hanya dimengerti oleh mereka yang pernah mencintai dan kehilangan dalam waktu yang sama.
Dulu, bertahun-tahun silam, jendela itu bukan hanya jendela. Ia adalah saksi bisu dari pertemuan-pertemuan singkat, dari tatapan-tatapan yang tak sempat menjadi pelukan. Dari janji-janji yang diucapkan terlalu lirih, hingga angin pun lupa membawa kabarnya. Di balik jendela itu, Laras dan seorang lelaki bernama Jati pernah menjalin kisah yang lebih hangat dari teh sore hari.
Jati adalah lelaki yang tak suka banyak bicara. Tapi matanya selalu berkata lebih dari mulutnya. Ia suka datang menjelang senja, duduk di bawah pohon mangga tua di halaman rumah Laras. Tak ada surat. Tak ada janji resmi. Hanya tatapan yang bertemu lewat celah jendela, dan senyum yang tumbuh di antara aroma sore dan suara jangkrik.
Namun seperti kebanyakan kisah yang terlalu indah untuk bertahan, mereka dipisahkan oleh hal yang tak bisa mereka lawan—waktu dan keadaan. Jati harus pergi. Katanya, demi masa depan. Katanya, demi cita-cita. Tapi Laras tahu, Jati pergi karena dunia tak memberi tempat untuk kisah cinta mereka yang sederhana. Keluarga, pekerjaan, kota yang menelan janji-janji kecil mereka.
“Aku akan kembali sebelum senja terakhir,” janji Jati, berdiri di bawah jendela itu, dengan senyum yang lebih menyakitkan dari tangis.
Tapi senja terakhir datang dan pergi. Bertahun-tahun berlalu. Daun mangga gugur dan tumbuh lagi. Tapi Jati tak pernah kembali.
Orang-orang bilang Laras gila. Terlalu lama menunggu seseorang yang tak pernah mengabari. Tapi Laras tak peduli. Ia tahu, cinta yang sejati tak butuh pembuktian dari dunia. Cukup dengan kenangan. Cukup dengan jendela.
Sampai suatu hari, seorang pemuda datang ke rumah itu. Bajunya sederhana, wajahnya mirip Jati—begitu mirip sampai Laras nyaris menjatuhkan cangkir tehnya.
“Apakah ini rumah Bu Laras?” tanyanya sopan.
Laras mengangguk. Tangan tuanya bergetar pelan.
“Ayah saya… menyuruh saya datang ke sini. Namanya Jati.”
Seketika, waktu berhenti. Angin berhenti. Dunia berhenti.
Pemuda itu bercerita. Tentang ayahnya yang sering bercerita tentang seorang perempuan yang selalu menatap senja lewat jendela tua. Tentang penyesalan yang tak sempat ditebus. Tentang cinta yang terus hidup, meski tak pernah kembali.
“Ini… untuk Ibu,” katanya sambil menyerahkan sepucuk surat.
Laras membuka surat itu perlahan, seakan membuka pintu ke masa lalu.
Teruntuk Laras,
Maafku tak cukup ditulis dengan kata. Tapi jika cinta itu masih ada, lihatlah senja. Di sana aku menitipkan rinduku.
Kanda,
Jati.
Air mata Laras jatuh, satu-satu. Bukan air mata kesedihan. Tapi air mata yang sudah lama tertahan, seperti hujan yang rindu jatuh di tanah gersang.
Baca Juga : Memori Mesin yang Pernah Bermimpi (Aliana Novel)
Sejak hari itu, jendela tua itu tak hanya terbuka untuk kenangan. Ia terbuka untuk harapan baru. Pemuda itu, anak Jati, sering datang. Membacakan buku, menemani Laras minum teh, dan sesekali mengajak tertawa. Laras tak lagi sendiri. Ia tahu, cinta Jati tak pernah mati. Ia hanya bertransformasi—menjadi mata seorang anak yang penuh kasih.
Dan jendela itu… ah, jendela itu tetap menjadi saksi. Saksi dari cinta yang bertahan, bahkan melampaui waktu.
Hingga suatu malam, Laras tertidur di kursi goyangnya. Selendang batik masih dalam pelukan. Di wajahnya, senyum mengembang, seperti senja yang tak lagi menyimpan luka.
Keesokan paginya, pemuda itu menemukannya dalam damai. Tak ada tangis. Tak ada duka. Hanya keheningan yang indah, dan cahaya pagi yang masuk lewat jendela tua, mencium pipi Laras dengan lembut.
Kini, rumah tua itu kosong. Tapi jendela itu masih berdiri. Dan setiap senja, beberapa orang desa melihat bayangan samar seorang perempuan tua duduk di kursi goyang, menatap langit yang membara.
Mungkin itu hanya imajinasi. Atau mungkin… cinta memang tak pernah benar-benar pergi.
Apapun itu, jendela tua itu akan selalu terbuka. Menatap senja. Menyambut rindu. Dan menyimpan cerita.