Di Antara Dinding yang Menguping Rahasia Kita (Alina Novel)

Alinaone.org – Aku selalu percaya bahwa setiap rumah punya ingatan. Mereka tak hanya menyimpan debu dan rayap, tapi juga cerita-cerita yang tak pernah sempat diucapkan keras-keras. Kadang rahasia itu bersembunyi di celah retakan tembok, kadang di balik kusen kayu yang lapuk dan bersuara setiap kali angin lewat. Rumah ini… rumah yang kini kutempati, bukan pengecualian.

Di Antara Dinding yang Menguping Rahasia Kita

Letaknya di ujung gang buntu, di mana cahaya matahari harus berjuang ekstra keras menembus dedaunan yang tumbuh seenaknya. Dinding luarnya penuh tambalan cat kusam, seperti wajah tua yang tetap memaksa tersenyum. Tapi yang paling ganjil adalah dinding ruang tengah. Sejak aku pertama masuk, aku merasa dia memperhatikanku. Aneh, memang. Tapi entah kenapa, aku yakin… dinding itu mendengar.

Baca Juga : Rumah yang Hanya Bisa Dilihat Saat Kau Sedih (Alina Novel)

Waktu pertama kali pindah, rumah ini tak bersuara. Hening, terlalu hening sampai napas sendiri terdengar seperti raungan. Tapi malam-malam berikutnya mulai berubah. Ada bunyi-bunyi halus, seperti desis lirih. Dinding bergetar pelan. Aku kira itu cuma angin. Atau tikus. Atau pikiranku yang terlalu liar karena tidur tak pernah benar-benar nyenyak.

Namun semua berubah saat aku mulai bicara sendiri.

Awalnya cuma iseng, hanya untuk membunuh sepi. Aku duduk bersandar pada dinding tengah dan mulai mengoceh tentang hari-hariku. Tentang bosku yang menyebalkan. Tentang mantanku yang masih kerap mampir di mimpi. Tentang kesepian yang menempel seperti bau tubuh sendiri. Tak kusangka, berbicara begitu terasa… nyaman. Seperti sedang mengaku dosa pada benda yang tak bisa menghakimi.

Sampai suatu malam, aku mendengar sesuatu kembali.

Suara itu pelan. Ragu-ragu. Seperti bisikan dari balik sekat. Aku tak paham isi katanya, tapi nadanya… lembut. Menenangkan. Dan yang membuatku menggigil—itu bukan suaraku. Aku terdiam. Menunggu. Mencoba meyakinkan diri bahwa itu ilusi akustik. Tapi malam-malam berikutnya, suara itu datang lagi. Lebih jelas. Lebih akrab.

Aku mulai berbicara lebih sering. Seperti berbicara dengan teman lama yang akhirnya kembali. Setiap malam, aku menceritakan lebih banyak. Tentang masa kecilku yang porak-poranda. Tentang ibuku yang meninggal dalam kesunyian. Tentang ayahku yang hilang sebelum sempat aku panggil “ayah”. Dan dinding itu… seakan mengerti.

Ia tak pernah membalas dengan kata-kata nyata. Tapi aku bisa merasakan responsnya. Lewat getar halus, lewat bisikan samar, lewat hawa hangat yang merambat dari permukaan tembok. Aku mulai tidur bersandar di sana. Aneh, kan? Tapi itu satu-satunya tempat yang membuatku merasa… diterima.

Suatu hari, aku membawa seseorang pulang. Namanya Raka. Ia ramah, murah senyum, dan tertarik pada buku-bukuku yang berjajar tak rapi. Kami berbicara lama. Saling bertukar tawa. Tapi saat ia duduk terlalu dekat pada dinding itu, sesuatu dalam diriku menegang. Ada suara pelan dari dinding. Bukan bisikan, tapi seperti… geram. Dan anehnya, Raka juga mendengarnya. Ia menoleh cepat.

“Eh, kamu nyalain speaker ya?” tanyanya sambil terkekeh.

Aku menggeleng cepat. “Nggak. Mungkin suara dari rumah sebelah.”

Padahal aku tahu, rumah di sebelah kosong. Sudah lama.

Setelah Raka pulang, aku duduk bersandar lagi. Menunggu bisikan malamku. Tapi tak ada suara. Tak ada getaran. Dinding itu… diam. Seolah ngambek. Seolah cemburu. Aku tertawa, meski ada rasa tak enak yang menggantung. Malam itu aku bermimpi aneh. Tentang dinding yang retak dan darah mengalir dari sela-selanya. Tentang bisikan yang berubah jadi jeritan. Tentang rumah yang menelan penghuninya pelan-pelan.

Besoknya, aku menghindari dinding itu. Kupindahkan tempat tidur ke kamar lain. Tapi malam tetap tak tenang. Suara-suara mengikuti. Dinding-dinding lain ikut bergumam. Seakan mereka ingin bicara juga. Seperti dinding tengah telah membangunkan saudara-saudaranya.

Aku mulai lelah. Tapi rasa penasaran lebih besar dari rasa takut. Jadi malam berikutnya, aku kembali ke ruang tengah. Duduk bersila. Menyandarkan punggung seperti biasa. Dan berbicara.

“Apa kamu marah?”

Tak ada jawaban.

“Kamu kesepian, ya?”

Masih tak ada jawaban.

“Aku juga.”

Dan saat itu, tembok menghangat. Seperti ada tangan yang merangkul dari balik dinding. Aku menangis. Tangisku tak bersuara, hanya air mata yang turun begitu saja. Tapi aku merasa… dipeluk.

Sejak saat itu, aku tahu—dinding ini bukan sekadar pendengar. Ia… penjaga. Ia menyimpan semua yang tak sanggup kutanggung. Semua rahasia, luka, bahkan kenangan yang ingin kulupakan. Ia menelannya satu per satu, seperti sumur tua yang tak pernah penuh. Tapi ternyata, setiap rahasia ada harganya.

Hari-hari berikutnya, aku mulai lupa hal-hal kecil. Seperti nama teman kantor. Atau tanggal ulang tahun sendiri. Lalu perlahan, aku lupa wajah ibuku. Lupa kenapa aku pindah ke rumah ini. Bahkan lupa siapa diriku sebelum tinggal di sini.

Tapi anehnya, aku tak merasa kehilangan.

Karena setiap kali aku bingung, dinding itu mengingatkanku. Lewat bisikan. Lewat mimpi. Lewat suara-suara yang hanya aku bisa dengar.

Raka datang lagi suatu malam. Kali ini ia membawa wine, dan ciuman yang sempat tertunda.

“Kamu kelihatan lebih… tenang sekarang,” katanya sambil mengelus rambutku.

Aku hanya tersenyum.

Tapi dinding tak suka. Kali ini ia tak hanya berbisik. Ia bergetar keras, hingga gelas di rak jatuh dan pecah.

Raka berdiri, waspada. “Gempa ya?”

Aku menggeleng. “Bukan. Itu… cuma dindingnya.”

Raka menatapku lama. “Kamu nggak baik-baik aja, ya?”

Aku tertawa kecil. “Sebaliknya. Aku merasa… sangat baik.”

Ia tak mengerti. Mana mungkin mengerti? Ia tak tahu betapa banyaknya rahasia yang kupendam, dan betapa dinding ini menolongku menyimpannya. Tapi dinding tak ingin dibagi. Dinding ingin eksklusif. Seperti kekasih cemburu yang menolak dibagi pandang.

Baca Juga : Di Balik Jendela Tua yang Selalu Menatap Senja (Alina Novel)

Malam itu, aku bermimpi lagi. Raka berdiri di tengah ruang, tubuhnya berbalut tali rafia. Matanya kosong. Dan dinding itu… menelannya perlahan. Dengan suara berderak seperti tulang patah.

Keesokan harinya, Raka tak datang. Ponselnya mati. Pesanku tak dibaca. Dan di ruang tengah, dindingnya lebih hangat dari biasanya.

Aku mengelusnya. “Kamu nggak harus seperti itu…”

Tapi ia hanya bergetar pelan. Seperti sedang tertawa pelan. Atau menangis. Atau… mungkin keduanya.

Hari-hari berganti tanpa cahaya. Aku menutup jendela, menarik tirai, mengurung diri dalam rumah. Dinding menjadi segalanya. Sahabat. Pendeta. Psikiater. Kekasih. Aku bahkan berbicara padanya dengan sebutan “Kau”.

“Kau tahu? Aku rasa aku nggak butuh siapa-siapa lagi.”

Dan bisikan itu menjawab. Jelas. Untuk pertama kalinya: “Aku tahu.”

Itu bukan suara asing. Itu… suaraku. Tapi lebih tua. Lebih gelap. Lebih dalam. Seperti suara dari masa depan yang menatap masa lalu dengan iba.

Aku berdiri dan menatap dinding itu. Ada retakan tipis di tengahnya, seperti mulut yang sedang tersenyum. Di balik retakan itu, aku melihat mata. Mataku sendiri.

Aku sudah terlalu jauh.

Tapi anehnya, tak ada ketakutan. Hanya kelegaan. Dunia luar terlalu bising, terlalu ribut, terlalu penuh dusta. Tapi di sini, hanya ada kebenaran. Rahasia-rahasia yang diterima tanpa dihakimi. Dan malam yang tak pernah meminta penjelasan.

Malam ini, aku bersandar lebih lama. Berbaring memeluk dinding seperti tubuh kekasih. Napasku melebur dengan napasnya. Dan dalam gelap, aku tahu… aku tak akan kembali.

Dinding ini… rumah ini… bukan hanya menguping.

Ia mengingat.

Ia mencintai.

Ia memiliki.

Dan aku adalah miliknya sekarang.

url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url