Alinaone.org – Pagi itu, Warteg “Selera Mak Nyus” masih lengang. Di pojokan, Mang Didin—pemilik sekaligus koki andalan warteg ini—sedang menggoreng bala-bala sambil bersiul kecil. Bau harum minyak goreng yang bercampur bawang merah terbang melintasi ruang makan, menggoda siapa saja yang lewat untuk mampir. Tapi, di antara pelanggan setianya, hanya ada satu orang yang Mang Didin tunggu dengan perasaan campur aduk: Mamat.

Si Mamat ini bukan pelanggan biasa. Bisa dibilang dia “pelanggan utama” yang utangnya juga “utama”. Tiga bulan, empat hari, dan entah berapa jam sejak Mamat terakhir kali membayar. Tapi anehnya, Mang Didin tak pernah marah. Mungkin karena Mamat selalu datang dengan cara yang bikin ketawa.
Pintu warteg berderit pelan, dan benar saja, muncul sosok Mamat dengan senyum cengengesannya yang khas. Dengan gaya sok keren, dia mengusap rambutnya yang berminyak seolah sedang membintangi iklan sampo. “Assalamualaikum, Mang! Ada bala-bala buat orang ganteng?”
Mang Didin mendelik sambil pura-pura garang. “Ganteng? Gue liat-liat, yang ganteng cuma utang lu, Mat.”
Mamat tertawa ngakak, lalu duduk dengan santai di bangku dekat jendela. “Santai, Mang. Semua akan terbayar pada waktunya. Utang itu kan amanah. Saya ini cuma menunggu ilham dari semesta.”
Mang Didin menggeleng. “Ilham? Jangan-jangan utang lu mau diwarisin ke anak cucu, ya?”
Sebelum Mamat sempat membalas, pintu warteg kembali terbuka, dan suasana berubah. Masuklah seorang perempuan dengan langkah anggun, membawa aura yang bikin suasana warteg mendadak seperti setting film drama romantis. Namanya Susi. Dia pelanggan baru yang baru saja pindah ke kontrakan di sebelah.
“Pagi, Mang Didin,” sapanya sambil tersenyum. Suaranya lembut, seperti suara peri di pagi hari.
Mamat yang biasanya sok santai langsung tegak seperti papan setrika. Pandangannya terpaku pada Susi, seolah baru saja melihat bidadari turun dari langit dengan sayap berbulu gorengan.
“Pagi, Neng Susi! Mau makan apa?” tanya Mang Didin dengan ramah.
Susi melihat daftar menu yang digantung di dinding. “Nasi rames aja, Mang. Ayamnya yang kecil aja, ya.”
Mang Didin mengangguk, tapi matanya melirik ke arah Mamat yang tiba-tiba sibuk merapikan kerah bajunya. “Mat, sini bantu gue angkat piring, tuh.”
Tanpa banyak pikir, Mamat langsung berdiri. “Siap, Mang! Apa aja demi warteg ini… dan demi pelanggan yang terhormat,” tambahnya sambil melirik ke arah Susi.
Susi hanya tersenyum sopan. Tapi itu cukup untuk membuat Mamat bertekad melunasi utangnya—setidaknya dalam khayalannya.
Beberapa hari berlalu, dan Mamat makin sering nongkrong di warteg. Alasannya sederhana: Susi. Tapi, makin sering dia ke sana, makin sering juga dia menambah daftar utangnya. Sebenarnya, dia ingin menunjukkan sisi bertanggung jawab, tapi dompetnya seolah punya penyakit akut: kosong kronis.
Suatu hari, Mamat menemukan ide cemerlang—atau setidaknya menurut dia, ide ini cemerlang. Dia akan membantu Mang Didin di warteg agar punya alasan untuk selalu dekat dengan Susi.
“Mang, gimana kalau saya jadi asisten warteg? Saya bantu-bantu masak, nganterin pesanan, dan—”
“Dan utang lu gue anggap lunas?” potong Mang Didin.
Mamat mengangguk cepat. “Ya, bisa jadi. Anggap aja barter jasa, Mang.”
Mang Didin menghela napas panjang. “Yaudah, tapi kalau lu bikin pelanggan kabur, gue tagih dobel.”
Mamat mengacungkan jempol. “Deal!”
Mulai hari itu, Mamat resmi menjadi “asisten” warteg. Tugas utamanya sederhana: angkat piring, bersihkan meja, dan jangan lupa senyum ke pelanggan. Tapi di balik tugas-tugas itu, ada misi rahasia: menarik perhatian Susi.
Misi Mamat tidak berjalan semulus yang dia bayangkan. Hari pertama, dia menjatuhkan nampan penuh gelas kopi saat Susi sedang makan. Hari kedua, dia salah nganter pesanan, bikin pelanggan protes. Tapi di hari ketiga, sebuah kejadian tak terduga membuat semuanya berubah.
Siang itu, warteg sedang ramai. Mang Didin sibuk di dapur, sementara Mamat kelabakan mengantar pesanan. Tiba-tiba, seorang pelanggan besar—sebut saja Bang Joni—protes karena gorengannya kurang sambal. Suaranya yang keras bikin suasana jadi tegang.
“Mana sambalnya, Mat? Gue bayar mahal-mahal, masa sambalnya pelit?”
Mamat yang panik hanya bisa minta maaf, tapi Bang Joni makin galak. Melihat situasi memanas, Susi tiba-tiba berdiri.
“Bang Joni, sabar dulu,” katanya dengan tenang. “Kalau Abang mau sambal tambahan, saya bikinin di dapur.”
Bang Joni yang awalnya marah langsung luluh melihat senyum Susi. “Oh, yaudah, deh. Tapi cepat, ya. Perut gue udah keroncongan.”
Susi masuk ke dapur, dan tak lama kemudian, keluar membawa mangkuk kecil penuh sambal. Bang Joni mencicipinya, lalu tersenyum puas. “Ini baru namanya sambal! Makasih, Neng.”
Sejak kejadian itu, Mamat semakin kagum pada Susi. Bukan hanya karena dia cantik, tapi juga karena dia bisa meredakan amarah dengan caranya yang lembut. Dalam hati, Mamat bertekad untuk lebih serius.
Satu minggu kemudian, Mang Didin mengumumkan sesuatu yang mengejutkan. Dia akan mengadakan lomba makan pedas di warteg. Hadiahnya lumayan besar: gratis makan selama satu bulan.
“Yang menang, selain gratis makan, boleh kasih satu permintaan ke gue,” tambah Mang Didin sambil melirik ke arah Mamat. “Siapa tahu ada yang mau lunasin utang.”
Mamat langsung semangat. Dia tahu ini kesempatan emas untuk menunjukkan kehebatan di depan Susi sekaligus melunasi utangnya.
Hari lomba pun tiba. Warteg penuh sesak oleh peserta dan penonton. Mang Didin menyiapkan lima piring nasi goreng pedas dengan level sambal yang bikin hidung menciut hanya dari baunya.
Mamat ikut lomba dengan keyakinan penuh, meski sebenarnya dia tak tahan pedas. Susi yang duduk di bangku penonton hanya bisa tersenyum kecil melihat tingkahnya.
Begitu lomba dimulai, Mamat makan dengan kecepatan kilat. Mulutnya terbakar, tapi dia terus maju. Satu per satu peserta tumbang, sampai akhirnya tinggal dia dan Bang Joni.
Pertarungan sengit terjadi, tapi di suapan terakhir, Mamat berhasil menghabiskan piringnya duluan. Semua orang bersorak, dan Mang Didin menyerahkan hadiah secara simbolis.
“Permintaan lu apa, Mat?” tanya Mang Didin.
Mamat tersenyum lebar, lalu melihat ke arah Susi. “Saya mau lunasin utang, Mang. Dan… kalau boleh, saya mau ngajak Neng Susi makan malam.”
Semua orang terdiam sejenak, lalu bersorak mendukung. Susi yang awalnya kaget akhirnya tersenyum. “Boleh, tapi bayarin sendiri, ya. Jangan utang lagi.”
Semua tertawa, termasuk Mamat. Meskipun kepedasan masih terasa, hatinya hangat. Cinta di balik utang warteg akhirnya menemukan jalannya.
Hari makan malam yang dijanjikan akhirnya tiba. Mamat, dengan modal nekat, mengenakan kemeja biru polos yang ia pinjam dari tetangganya. Dia bahkan menyisir rambutnya dengan minyak rambut murahan yang aromanya terlalu menyengat. Susi, di sisi lain, tampil sederhana tapi menawan dengan dress bunga-bunga.
“Makasih udah mau makan malam bareng saya, Neng,” kata Mamat sambil berusaha menjaga suaranya tetap tenang.
“Sama-sama, Mas Mamat. Tapi saya mau tanya, kenapa sih Mas sampai repot-repot ikut lomba cuma buat ngajak saya makan malam?” tanya Susi sambil menatapnya.
Mamat terdiam sesaat. “Karena… saya suka sama Neng Susi. Dari pertama kali liat, saya tahu Neng beda. Saya tahu ini mungkin kedengeran konyol, tapi saya pengen kenal lebih jauh lagi.”
Susi tersenyum tipis. “Mas Mamat, jujur saya kagum sama keberanian Mas. Tapi kalau kita mau kenal lebih dekat, Mas harus buktikan kalau Mas bisa jadi orang yang bertanggung jawab. Mulai dari bayar utang Mang Didin, ya.”
Mamat tertawa kecil. “Iya, iya. Saya janji, Neng. Utang saya pasti lunas. Dan suatu hari nanti, saya bakal bikin Neng bangga.”
Malam itu, mereka berbincang panjang. Meski masa depan masih abu-abu, Mamat merasa optimis. Siapa sangka, utang di warteg bisa membawa harapan baru dalam hidupnya?