Alinaone.org – Bikin playlist itu gampang. Tinggal buka aplikasi, klik ikon plus, kasih nama yang catchy—udah, jadi. Lagu-lagunya? Tinggal drag and drop dari rekomendasi atau hasil pencarian. Selesai dalam lima menit. Tapi… apakah playlist itu bakal nyentuh hati? Apakah dia bakal bisa nemenin kamu di malam-malam sepi saat kopi tinggal ampasnya dan pikiranmu berkecamuk kayak badai kecil di kepala? Nah, di situlah letak bedanya.
Bikin Playlist Itu Gampang Tapi Bikin yang Ngena Itu Butuh Hati

Playlist yang “ngena” itu bukan sekadar kumpulan lagu. Dia kayak surat cinta tanpa amplop. Kayak foto lama yang kebetulan jatuh dari buku harian. Kayak aroma hujan yang diam-diam bawa kamu balik ke masa lalu yang belum benar-benar kamu ikhlaskan.
Baca Juga : Spotify dan Perjalanan Waktu Lewat Lagu yang Paling Saya Sukai
Lebih dari Sekadar Lagu
Kalau kamu pernah bikin playlist buat seseorang—entah gebetan, mantan, sahabat, atau bahkan buat diri kamu sendiri di masa yang lagi patah-patahnya—kamu pasti ngerti maksudnya. Playlist itu kayak peta emosi. Setiap lagu punya koordinatnya sendiri, punya arah angin yang ngebawa rasa tertentu.
Contohnya, kamu masukin “Fix You” dari Coldplay di urutan kedua. Kenapa nggak pertama? Karena kamu pengen lagu itu jadi penenang setelah pembukaan yang agak mellow. Lalu kamu selipin “Cigarette Daydreams” di tengah-tengah. Bukan cuma karena enak, tapi karena nadanya pas buat momen jeda—buat ngingetin dia (atau kamu sendiri) buat tarik napas.
Playlist yang bagus tuh kayak nulis cerita. Ada pembukaan, konflik, klimaks, dan penutup. Dan yang paling penting: ada rasa.
Lagu Adalah Bahasa yang Tak Perlu Diterjemahkan
Setiap orang punya satu lagu yang bikin mereka diem, berhenti ngetik, lalu mandang layar kosong selama lima menit. Nggak tau kenapa. Tiba-tiba aja, deg! Lagu itu mecahin kenangan kayak palu kecil yang ngetok pelan tapi dalam. Itu yang kita cari dari playlist yang ngena.
Kadang, kita bahkan nggak paham semua liriknya. Tapi melodinya, cara vokalnya ditarik, dentingan pianonya—semuanya ngegetarin sesuatu di dalam dada. Lagu bukan cuma soal suara, tapi soal jiwa.
Dan playlist, kalau dibuat pakai hati, jadi semacam puzzle perasaan yang nyatuin semua kepingan yang selama ini kita simpan diam-diam.
Proses Kreatifnya Nggak Bisa Dipaksain
Pernah nggak, kamu coba bikin playlist tapi akhirnya malah scroll lagu doang selama satu jam? Karena kamu pengen lagu yang pas banget. Bukan sekadar enak, tapi tepat. Dan anehnya, lagu itu biasanya muncul pas kamu lagi nggak nyari. Mungkin di coffee shop yang speakernya agak cempreng, atau dari story IG orang yang bahkan kamu nggak kenal deket.
Playlist yang ngena itu kayak lukisan. Kadang kamu butuh diam. Kadang kamu butuh patah hati dulu. Kadang kamu perlu ngalamin macet panjang di tol sambil muter lagu itu berulang-ulang, sampai kamu tau: “Yup. Lagu ini masuk.” Dan kamu tahu apa yang lebih indah dari itu?
Playlist yang Ngena Itu Nggak Pernah Benar-benar Selesai
Dia bisa kamu tambahin kapan aja. Mungkin kamu nemu lagu lama yang baru kerasa artinya sekarang. Atau kamu sadar, ternyata lagu yang dulu kamu kira soal cinta, ternyata soal kehilangan.
Dia tumbuh. Seperti kamu. Seperti hubungan yang kamu punya. Seperti malam-malam yang nggak kamu ceritain ke siapa-siapa, tapi kamu simpen dalam nada dan irama.
Playlist itu bukan produk. Dia proses. Dia cerita yang terus berlanjut, kadang tanpa kata penutup.
Antara Nostalgia dan Harapan
Beberapa orang bikin playlist buat nginget masa lalu. Buat mantan. Buat momen yang nggak bisa diulang. Tapi ada juga yang bikin playlist buat masa depan—buat perjalanan ke tempat yang belum pernah dikunjungi, buat mobil yang belum dibeli, buat mimpi yang belum kesampaian.
Uniknya, dua-duanya bisa bikin kita nangis. Karena lagu punya kekuatan itu: ngebawa kita ke tempat yang nggak bisa dijangkau kaki, tapi bisa dijangkau hati.
Dan ketika kamu bikin playlist yang ngena, kamu sebenarnya lagi bikin jembatan antara dua waktu. Kamu ngasih suara ke sesuatu yang mungkin belum pernah kamu ucapin. Kamu bikin bentuk dari perasaan yang tadinya cuma berdiam di sudut dada.
Playlist Itu Warisan Emosi
Suatu hari nanti, kamu bakal nemu playlist lama yang kamu buat. Mungkin judulnya aneh. Mungkin deskripsinya penuh emoji. Tapi saat kamu play lagi… boom. Kamu kembali jadi versi lama dari dirimu. Kamu ingat siapa kamu saat itu, kamu tahu kenapa kamu masukin lagu-lagu itu.
Mungkin playlist itu dulu kamu buat pas kamu lagi jatuh cinta, dan sekarang kamu sudah lupa rasanya. Tapi lagu-lagu itu belum lupa. Mereka masih inget. Mereka masih nyanyi, masih bisik-bisik, “Ingat nggak, waktu kamu bilang kamu bakal selalu ada?”
Jangan Anggap Remeh Playlist
Kita sering mikir playlist cuma alat. Cuma cara gampang buat ngumpulin lagu. Tapi sebenarnya, dia bisa jadi puisi. Bisa jadi surat. Bisa jadi doa.
Kalau kamu lagi bikin playlist buat orang yang kamu sayang—luangkan waktu. Dengarkan tiap lagu sampai kamu ngerasa, “Ini dia.” Bukan karena top chart. Bukan karena viral. Tapi karena kamu tahu, lagu ini bisa ngomong lebih baik dari kamu.
Baca Juga : Suara yang Tak Pernah Mati Spotify dan Evolusi Musik Digital
Dan kalau kamu bikin buat diri kamu sendiri, jujurlah. Jangan cuma masukin lagu yang “keren.” Masukin juga lagu-lagu yang kamu dengerin pas kamu sendirian di kamar, sambil ngerasa kosong tapi lega. Masukin juga lagu absurd yang liriknya nggak nyambung tapi nadanya bikin kamu senyum.
Itu playlist yang beneran hidup. Yang nggak dibikin cuma dengan jari, tapi juga dengan hati.
Akhir Kata
Bikin playlist itu gampang. Tapi bikin yang ngena? Kamu harus pernah ngerasain kehilangan, jatuh cinta, ngarep yang nggak kesampaian, dan duduk diam di balik kemudi sambil nunggu lampu hijau tapi sebenarnya kamu cuma pengen muter satu lagu lagi sebelum semuanya jalan lagi.