Alinaone.org – Ada detik yang tidak bisa dijelaskan oleh jam dinding, bahkan oleh teori fisika paling rumit sekalipun.
Detik ketika bumi—yang katanya tak pernah berhenti berputar—mendadak beku. Bukan oleh suhu, bukan oleh es. Tapi oleh pelukanmu.
Bumi Pernah Berhenti Berputar Saat Kau Memelukku

Aku masih mengingatnya, sejelas hujan yang pertama kali mengaburkan pandangan kita di bawah halte bus tua, tempat segalanya bermula.
Baca Juga : Perjalanan Panjang Menuju Pintu yang Tak Pernah Kubuka (Alina Novel)
Namamu Lira. Seperti nada-nada yang menari di ujung jari pianis tua di pojok kafe tempat kita sering sembunyi dari dunia.
Aku, orang yang lebih sering bicara dengan langit ketimbang manusia, mendadak menemukan rumah di matamu. Aneh, ya? Bagaimana seseorang bisa merasa lebih pulang pada tatapan daripada alamat.
“Kenapa kamu suka diam?” tanyamu waktu itu, sembari menggenggam segelas coklat panas yang kini menguap seperti kenangan masa kecil.
Aku menatap keluar jendela, melihat rintik hujan yang jatuh seperti lagu patah hati yang tak pernah benar-benar selesai ditulis.
“Karena dalam diam, aku bisa mendengarmu lebih baik,” kataku.
Kau tertawa. Bukan tawa keras seperti biasanya, tapi tawa pelan yang menggigilkan tulang rusukku. Ada suara detak di dada yang tak sesuai ritme. Mungkin karena aku tahu, mulai saat itu, hidupku tak akan sama lagi.
Kita bukan pasangan sempurna. Aku terlalu suka sepi, kamu terlalu cinta bising. Aku penikmat senja, kamu pencinta pagi. Tapi di antara segala perbedaan, kita punya satu kesamaan: takut kehilangan.
Dan ketakutan itu, justru menjadi tali yang semakin mengikat kita erat.
Sampai hari itu datang.
Hari ketika matahari tak muncul di pagi hari. Hari ketika langit tak mau bicara denganku. Hari ketika kamu, dengan suara paling datar, berkata, “Aku harus pergi.”
“Apa maksudmu pergi?”
“Pergi. Untuk waktu yang nggak bisa kutentukan.”
Hatiku, yang biasanya tenang seperti permukaan danau di malam hari, kini dihantam ribuan kerikil. Gelombang kecil berubah menjadi badai.
“Aku akan menunggumu,” ucapku.
Tapi kamu hanya tersenyum tipis. Senyum yang seperti payung bocor di tengah hujan badai—tak banyak membantu, tapi tetap kupeluk.
Lira pergi. Dan bumi… mulai terasa asing.
Jam tetap berdetak. Tapi waktunya terasa salah. Langit tetap biru, tapi warnanya pudar. Suara musik tetap berdentum dari kafe tempat kita biasa berbagi mimpi, tapi nadanya sumbang.
Aku mulai berbicara pada benda mati. Pada boneka tua di kamar, pada jendela berdebu, pada buku-buku yang tak pernah selesai kubaca. Mencari sisa-sisa keberadaanmu di sela kalimat, di antara jeda.
Suatu malam, aku kembali ke halte bus tua. Hujan turun. Sama seperti malam pertama kita bertemu. Tapi malam ini tak ada kamu. Hanya dingin yang menggantung seperti pertanyaan tak terjawab.
“Lira…” bisikku, seakan angin bisa menyampaikan rindu lebih baik daripada surat.
Dan malam itu, bumi benar-benar terasa berhenti.
Satu tahun. Dua tahun. Waktu bukan lagi hitungan hari atau bulan. Tapi hitungan napas yang terus menyesakkan.
Aku mencoba melupakanmu.
Sumpah, aku benar-benar mencoba.
Dengan kopi yang lebih pahit, dengan tawa yang lebih palsu, dengan janji-janji baru yang kuciptakan sendiri hanya untuk membuat dunia percaya bahwa aku baik-baik saja.
Tapi setiap kali aku melihat langit yang mulai mendung, aku melihat matamu. Setiap kali musik lembut mengalun, aku dengar suaramu. Setiap kali aku berjalan sendirian di trotoar basah, bayanganmu mengekoriku.
Sampai pada hari yang tak terduga, kamu kembali.
Hari itu kamu berdiri di depan pintu apartemenku. Tubuhmu masih sama. Mata itu masih punya rumahku. Tapi ada yang berbeda. Seperti musim yang datang terlambat, kamu bukan Lira yang dulu kutinggalkan di ujung senja.
“Boleh masuk?” tanyamu.
Aku mengangguk. Dunia seperti menahan napas.
Kamu duduk di sofa abu-abu yang kita beli bersama, yang pernah jadi saksi pertengkaran kecil tentang warna cat dinding.
“Gimana kabarmu?” tanyamu.
Sungguh pertanyaan sederhana yang terasa seperti pisau mentah.
“Aku baik…” jawabku pelan. “Setelah belajar bagaimana caranya hidup tanpamu.”
Kamu menggigit bibir, menahan sesuatu. Entah rindu, entah sesal. Atau mungkin keduanya.
“Aku nggak bermaksud pergi selama itu,” katamu.
“Lalu kenapa kamu nggak kembali?”
“Karena aku takut… aku kembali dan kamu udah nggak ada.”
Aku menunduk. Ada hujan yang tiba-tiba turun di dalam dada.
Tapi sebelum aku sempat berkata apapun, kamu memelukku.
Pelukan yang bukan sekadar rangkulan. Tapi pelukan yang membawa kembali detak bumi. Yang menghentikan segala keramaian di luar sana.
Baca Juga : Surat yang Ditulis dengan Tinta Air Mata (Alina Novel)
Saat itu, aku bersumpah, waktu berhenti. Detik kehilangan maknanya. Bumi… bumi berhenti berputar.
Kita menangis. Bersama. Dalam diam. Tanpa perlu alasan.
Karena rindu tidak butuh penjelasan. Ia hanya butuh tempat kembali.
Beberapa minggu setelah itu, kamu mulai tinggal lagi. Tidak secara utuh, tapi cukup untuk membuat tempat ini tak terasa sepi. Kamu masih suka pagi, dan aku masih mencintai senja. Tapi kita mulai belajar bagaimana caranya berjalan di tengah hari.
Kamu tertawa lebih pelan sekarang. Dan aku mulai bicara lebih sering. Kita bertemu di tengah.
Dan dalam pelukan-pelukanmu yang kini jadi rutinitas sebelum tidur, aku selalu mengingat detik itu. Detik ketika dunia seperti berhenti bicara, ketika gravitasi lupa cara kerja, ketika seluruh semesta hening.
Karena cinta—cinta yang kita punya—mampu menghentikan bumi, walau hanya sekejap.
Suatu malam, kamu bertanya, “Kalau waktu bisa diulang, kamu mau balik ke hari kita pertama ketemu?”
Aku menggeleng pelan.
“Kenapa?”
“Karena kalau waktu diulang, aku takut kita nggak saling menemukan lagi.”
Kamu tertawa. Tapi mata itu berkaca.
“Kamu tahu,” kataku lagi, menggenggam jemarimu yang kini hangat. “Bumi ini terlalu besar. Tapi pelukanmu cukup untuk membuatnya terasa kecil. Dan saat kamu memelukku… dunia ini nggak perlu lagi berputar. Karena segalanya sudah ada di sini.”
Kau menutup matamu, menyandarkan kepala ke dadaku, mendengar irama detak yang sempat kehilangan nada.
Dan di luar, malam mulai turun. Tapi kali ini tanpa hujan. Tanpa kehilangan.
Hanya bintang-bintang yang berkedip perlahan, seolah mengerti bahwa bumi… tak harus selalu berputar.
Terkadang, ia hanya perlu diam.
Untuk sejenak.
Untuk cinta.
Untuk kita.
Selesai.