Alinaone.org – Aku pertama kali melihatnya di ujung gang sempit yang bau amis dan selalu basah walau musim kemarau. Seekor kucing putih. Bulu-bulunya tebal seperti kabut pagi yang belum sempat dikejar mentari. Matanya… astaga, matanya! Hijau terang, nyaris seperti dua lentera kecil yang menyala di tengah malam paling kelam.
Kucing Putih yang Selalu Menuntunku ke Kenangan Buruk

Aneh, bukan kucing itu yang membuatku berhenti. Tapi bagaimana ia menatapku, seperti mengenalku. Seperti pernah hidup dalam mimpiku yang kusimpan rapat di bawah bantal sejak aku berumur sembilan tahun.
Baca Juga : Surat yang Ditulis dengan Tinta Air Mata (Alina Novel)
Dia duduk tenang, ekornya melilit kaki, seolah tahu aku akan mengikutinya. Dan benar saja, tanpa berpikir panjang, aku pun melangkah. Hanya Tuhan dan setumpuk rasa penasaran yang tahu kenapa aku begitu percaya pada makhluk berkaki empat yang bahkan tak bisa bicara itu.
Kucing putih itu membawaku ke sebuah rumah tua yang nyaris tumbang. Catnya mengelupas, seperti kulit yang bosan ditempeli kenangan. Jendela-jendela tergembok debu. Tapi yang paling membuat bulu kudukku berdiri adalah… aku tahu rumah ini. Pernah tinggal di dalamnya, lebih tepatnya. Meski saat itu aku masih terlalu kecil untuk mengingat semua secara utuh.
Dan begitu aku menginjakkan kaki ke halaman yang penuh rumput liar itu, kenangan datang bergulung seperti ombak malam. Aku mendengar suara—bukan dari mulut siapa-siapa, tapi dari dinding, dari lantai, dari bayangan di balik pintu yang setengah terbuka. Suara tawa. Suara tangis. Dan suara jeritan kecilku, dulu, waktu masih sering tidur dengan lampu menyala.
Kucing itu melompat ke jendela, duduk, dan menatapku lagi. Matanya seakan berkata, “Lanjutkan. Hadapi.” Dan entah kenapa, aku mendengarkan.
Kakiku melangkah masuk. Bau kapur barus, kayu lapuk, dan sedikit aroma keringat lama-lama menyeruak seperti tamu tak diundang. Aku menyusuri lorong yang terasa lebih sempit dari ingatanku. Ada lukisan tua tergantung miring. Wajah-wajah tanpa nama. Seperti potret keluarga yang tak pernah sempat bahagia.
Di ruang tamu, sofa yang dulu jadi tempat ibuku mengajari membaca kini penuh sarang laba-laba. Tapi, aku masih bisa mendengar suaranya, mengalun seperti lagu nina bobo yang terlupa nadanya.
Dan di sudut ruangan itu… ada aku. Kecil. Duduk memeluk boneka tanpa mata. Wajahku kosong. Mataku merah. Kupandangi adegan itu seperti menonton film horor dengan tokoh utama adalah diriku sendiri.
Aku berbalik, berharap semua ini hanya ilusi. Tapi kucing putih itu masih di sana. Duduk. Diam. Setia. Menunggu.
Dia melompat turun dan berjalan lagi. Aku mengikutinya, tentu saja. Bukan karena percaya, tapi karena tak ada pilihan lain. Setiap langkahnya seolah mengetuk pintu-pintu memori yang kusimpan dalam peti terkunci di dasar otak.
Kami masuk ke kamar yang dulu pernah jadi tempat tidur kakakku. Tempat di mana lampu meja tak pernah dimatikan. Tempat terakhir ia bicara padaku sebelum malam itu… malam yang kabur. Malam yang selalu kuhindari jika aku sedang sendirian.
Kamar itu kosong. Tapi baunya masih ada. Aroma sabun bayi dan semacam harapan yang menguap. Aku melihat bayangannya—kakakku—berbaring di ranjang. Menoleh ke arahku. Tersenyum. Tapi matanya… oh, matanya menjerit. Minta tolong.
Kucing putih itu mendesis. Perlahan, ia melangkah ke arah lemari tua di pojok ruangan. Kukira dia hanya iseng, sampai kulihat ia mengangkat satu kakinya dan menyentuh gagang lemari. Seperti menyuruhku membuka.
Tanganku gemetar. Tapi tetap kugenggam gagang itu. Kutarik pintunya pelan. Ada… surat. Tertumpuk rapi. Diikat pita merah pudar. Surat-surat dari kakakku. Untukku. Yang tak pernah dikirimkan.
Kudekap tumpukan surat itu. Dan di saat itulah, sesuatu di dalamku runtuh. Tembok yang kubangun sejak bertahun-tahun lalu akhirnya retak juga. Aku duduk di lantai, menangis. Bukan tangisan sedih, tapi semacam pelepasan. Tangisan luka yang akhirnya diakui keberadaannya.
Kucing itu menatapku. Tak berkata apa-apa. Tapi matanya… seolah mengerti. Ia berjalan ke arahku, menggesekkan tubuhnya ke lenganku. Hangat. Nyaman. Seperti pelukan tanpa kata-kata.
Aku membaca salah satu surat. Tulisan tangan kakakku masih sama: miring ke kiri, tergesa-gesa. Ia menulis tentang hari-hari tanpa aku. Tentang rasa bersalah yang menghantui. Tentang malam itu, ketika ia ingin melindungiku tapi justru membuat keputusan yang mengubah segalanya.
Saat membaca surat keempat, aku menyadari sesuatu yang aneh. Tanggal surat itu… adalah sehari sebelum ia menghilang.
Kupandangi lagi kucing putih itu. Ia kini duduk di dekat pintu, seperti bersiap pergi. Tapi… aku belum selesai.
“Aku mau tahu semuanya,” bisikku, lebih ke diri sendiri. Tapi kucing itu berdiri, berjalan lagi.
Kami menuruni tangga kayu ke ruang bawah tanah. Ruang yang dulu tak pernah boleh aku masuki. Kunci pintunya digantung tinggi, terlalu tinggi untuk bocah kecil sepertiku.
Tapi kini pintunya terbuka.
Kegelapan menyambutku seperti sahabat lama. Dan dinginnya menusuk tulang. Kucing itu melompat turun lebih dulu. Aku menyusul, pelan. Langkahku bergema di antara suara tetesan air dan desir angin dari celah dinding.
Ada kursi di tengah ruangan. Dan tali. Dan noda yang tak sempat dibersihkan. Aku tak perlu tanya, aku tahu. Malam itu, kakakku… ya, di sini tempatnya mengakhiri segalanya.
Aku menjerit. Tapi bukan suara keras. Jerit itu hanya terdengar di dalam dada. Membentur-bentur tulang rusuk seperti burung yang terperangkap.
Baca Juga : Di Antara Dinding yang Menguping Rahasia Kita (Alina Novel)
Tiba-tiba, semua jadi terang. Cahaya datang entah dari mana. Dan di sudut ruangan, kakakku berdiri. Bukan hantu. Tapi kenangan. Ia menatapku. Tersenyum lagi. Kali ini tanpa jerit di matanya.
“Aku cuma mau kamu tahu,” katanya, atau aku mengira ia berkata begitu. “Bukan salahmu.”
Kucing putih itu mendekat ke kakinya. Dan untuk pertama kalinya, aku melihat sesuatu yang tak pernah kusangka. Kakakku mengelus kepala kucing itu. Lalu menatapku dengan damai. Dan lenyap.
Hanya kucing itu yang tersisa. Ia mendekat. Duduk di depanku. Dan… menguap. Begitu biasa. Begitu sederhana. Seolah semua ini hanya mimpi sore yang terlalu panjang.
Aku keluar dari rumah itu dengan hati seperti langit setelah badai. Masih basah. Masih remuk. Tapi terbuka.
Kucing putih itu berjalan di depan, kembali ke gang sempit tadi. Ia tak menoleh lagi. Tak menuntunku lagi. Ia berhenti di ujung gang, menoleh sebentar, lalu… hilang. Seperti ditiup angin.
Dan aku berdiri di sana. Dengan dada penuh luka yang baru saja dijahit ulang. Dengan mata yang masih basah. Dengan napas yang akhirnya terasa utuh.
Sejak hari itu, aku sering lihat kucing putih di jalan. Tapi tak ada yang sama. Tak ada yang matanya menyala seperti lentera. Tak ada yang membawaku ke rumah kenangan.
Karena mungkin, hanya satu kucing putih yang tahu jalan pulang ke masa lalu. Dan sekarang, aku tak lagi perlu dituntun ke sana.
Cukup.
Sudah cukup.