Jalan Pulang yang Tak Pernah Bisa Ditemukan Meski dengan Peta (Alina Novel)

Alinaone.org – Aku pernah berdiri di sebuah stasiun tua yang bahkan tidak tercantum di peta mana pun. Kabut pagi menggantung malas seperti sisa mimpi yang enggan dibangunkan. Stasiun itu sunyi, begitu sunyi hingga suara detak jam tua di tembok seolah jadi satu-satunya tanda bahwa waktu masih berjalan. Aku menunggu kereta yang katanya akan membawaku pulang.

Jalan Pulang yang Tak Pernah Bisa Ditemukan Meski dengan Peta

Tapi… pulang ke mana?

Aku tidak tahu.

Yang kutahu hanya satu hal: ada sesuatu yang hilang dalam diriku. Sesuatu yang tidak bisa digambarkan dengan kata, tidak pula bisa ditunjukkan dengan jari. Ia seperti aroma kenangan yang tiba-tiba hadir saat hujan pertama turun setelah kemarau panjang—kau tidak tahu dari mana asalnya, tapi begitu akrab di hati.

Baca Juga : Di Antara Dinding yang Menguping Rahasia Kita (Alina Novel)

Mereka bilang, peta bisa menuntunmu ke mana saja. Tapi tak satu pun dari peta itu menandai tempat yang sedang kucari.

Aku pernah mencobanya. Membentangkan puluhan peta, dari peta wisata hingga peta spiritual. Dari Google Maps hingga peta bintang. Tapi tak ada satu pun yang memberi tanda, “Di sinilah tempat pulangmu.”

Yang kutemui hanyalah jejak-jejak yang kabur, jalan setapak yang menghilang di ujung mata, dan arah mata angin yang tak lagi konsisten. Utara bisa saja menjadi selatan jika kau terlalu lelah, dan barat bisa jadi timur kalau hatimu sedang kosong.

Pernah, di malam yang basah, aku bertemu seorang pria tua di persimpangan. Ia duduk bersandar pada ransel yang penuh tambalan, janggutnya abu-abu seperti debu musim gugur.

“Kau mencari jalan pulang?” tanyanya.

Aku mengangguk.

“Berhentilah mencari. Pulang itu bukan soal tempat. Ia soal rasa. Dan rasa itu… sering kali menolak untuk ditemukan.”

Aku tidak mengerti waktu itu. Tapi sekarang, duduk di bangku kayu dengan cat yang mengelupas dan punggung yang bersandar pada angin pagi, aku mulai sedikit-sedikit memahami.

Pulang bukan rumah. Pulang bukan orang tua. Pulang bukan kota kelahiran, bukan juga tempat yang dulu kita tinggalkan dengan janji akan kembali. Pulang… adalah sesuatu yang lebih liar dari itu. Ia bisa bersembunyi di pelukan seseorang yang matanya tak pernah menuntut penjelasan. Ia bisa hadir dalam lagu yang tiba-tiba memecah sunyi, membuat air mata jatuh tanpa alasan.

Dan yang paling menyakitkan—ia bisa saja tidak pernah ada.

Aku berjalan lagi, meninggalkan stasiun yang seperti mimpi buruk yang terlalu akrab. Jalan yang kutempuh bukan jalan utama. Aspalnya retak, rumput liar tumbuh seenaknya, dan suara burung terdengar lebih seperti tangisan.

Di tengah perjalanan, aku bertemu seorang anak kecil. Ia sedang menggambar sesuatu di tanah dengan ranting kayu. Ketika aku mendekat, aku sadar, ia sedang menggambar peta.

“Ini peta ke mana?” tanyaku.

“Ke tempat yang nggak bisa kau cari,” jawabnya tanpa menoleh. “Tempat yang datang sendiri saat kamu berhenti berharap.”

Aku menatap gambar itu. Tak ada jalan, tak ada kota, tak ada legenda. Hanya garis melingkar, seperti spiral tak berujung. Seolah-olah jalan pulang adalah pusaran waktu yang menelan siapa pun yang berani mencarinya.

Hari-hari berikutnya kulalui seperti peziarah yang lupa alasannya berangkat. Aku menyusuri desa-desa yang namanya bahkan tidak bisa kuucapkan, melewati sungai yang berbisik dengan suara-suara dari masa lalu, dan menatap langit yang tampaknya sedang mencoba memberi tahu sesuatu—sesuatu yang terlalu besar untuk dipahami manusia kecil sepertiku.

Aku ingat pernah berhenti di sebuah rumah yang hanya punya satu jendela. Di dalamnya tinggal seorang wanita dengan mata yang seperti luka lama. Ia memberiku teh hangat dan diam yang tidak membuat kikuk.

“Kadang yang kita cari bukan tempat, tapi pengakuan bahwa kita pernah ada,” katanya pelan. “Dan kalau kau merasa tidak pernah benar-benar ada, bagaimana bisa berharap menemukan jalan pulang?”

Kalimatnya menempel di benakku seperti benang merah yang mengikat serpihan-serpihan dari diriku yang hilang. Aku mulai menyadari, mungkin aku tidak sedang mencari rumah. Mungkin aku sedang mencari alasan.

Baca Juga : Rumah yang Hanya Bisa Dilihat Saat Kau Sedih (Alina Novel)

Alasan kenapa aku ada di sini. Alasan kenapa aku belum berhenti berjalan. Alasan kenapa malam selalu lebih jujur daripada siang.

Lalu datang malam yang paling gelap.

Bulan sembunyi, bintang pun enggan bicara. Aku tersesat di tengah hutan, suara serangga menjadi nyanyian horor yang tak berima. Udara dingin menusuk tulang, dan di situlah aku sadar—aku tidak takut. Aku hanya lelah.

Dan saat aku menutup mata, ingin menyerah, ingin membiarkan dunia menelanku, suara itu datang. Bukan dari luar, tapi dari dalam. Suara yang sangat familiar. Suara yang dulu hilang, terkubur bersama masa lalu yang tak pernah selesai.

“Ini bukan soal menemukan jalan pulang,” bisiknya. “Tapi menciptakan jalanmu sendiri, bahkan jika dunia tak memberimu peta.”

Aku menangis malam itu. Bukan karena sedih. Tapi karena akhirnya, setelah sekian lama, aku tahu harus ke mana melangkah.

Keesokan paginya, aku bangun dengan rasa yang berbeda. Aku masih di hutan, masih jauh dari apa pun yang disebut rumah. Tapi aku tahu… untuk pertama kalinya, aku tidak tersesat.

Aku menggambar peta sendiri. Sederhana saja. Hanya garis yang mengikuti langkahku. Setiap belokan, setiap persimpangan, setiap tempat di mana aku berhenti dan mendengarkan hatiku sendiri—semuanya kutandai.

Dan anehnya, meski peta itu hanya berisi coretan yang tak bisa dimengerti orang lain, aku bisa membacanya. Karena peta itu bukan untuk mereka.

Itu untukku.

Pernahkah kau merasa dunia begitu asing, padahal kau tinggal di dalamnya seumur hidupmu? Pernahkah kau tersenyum di tengah keramaian, tapi hatimu merasa seperti gelandangan?

Itulah aku. Dulu.

Tapi sekarang, aku punya sesuatu yang lebih penting dari rumah. Aku punya arah.

Aku tidak lagi butuh jalan pulang, karena sekarang aku tahu… rumah itu bukan tujuan.

Rumah adalah jalan itu sendiri.

Selama aku berjalan dengan jujur, dengan luka yang terbuka tapi tak disembunyikan, selama aku masih bisa mencintai tanpa alasan, tertawa meski hati hampa, menangis tanpa malu, dan memberi tanpa berharap kembali—aku sudah pulang.

Dan begitulah ceritaku. Bukan tentang seseorang yang menemukan rumahnya, tapi tentang seseorang yang berhenti mencari.

Karena, kadang-kadang, satu-satunya cara untuk menemukan jalan pulang… adalah dengan berhenti mencarinya.

url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url url